Thursday, July 19, 2012

Sumber - Sumber Hukum Internasional dikaitkan dengan Lahirnya Hukum Laut, Hukum Perang/ Humaniter dan Terkait kasus Sipadan dan Ligitan


BAB I. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
1. Pengertian sumber hukum internasional
Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formail dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dilihat dari bentuknya, sedang sumber hukum materiil adalah segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum. Menurut Starke, sumber hukum materiil hukum internasional diartikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum intrenasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu.

2. Macam-macam sumber hukum Internasional
Sumber hukum internasional dapat dibedakan berdasarkan 
2.1 Berdasarkan penggolongannya:
Berdasarkan penggolongannya sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua:
2.1.a Penggolongan menurut Pendapat Para sarjana Hukum Internasional
Para sarjana Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:
1. Kebiasaan
2. Traktat
3. Keputusan Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
4. Karya-karya Hukum
5. Keputusan atau Ketetapan Organ-organ/lembaga Internasional

2. 1.b Penggolongan menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional
Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah terdiri dari :
1.    Perjanjian Internasional (International Conventions)
2.    Kebiasaan International (International Custom)
3.    Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
4.    Keputusan Pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Theachings of the most highly qualified publicists).

Jelas bahwa penggolongan sumber hukum internasional menurut pendapat para sarjana dan menurut pasal 38 ayat 1 Satatuta Mahkamah Internasional terdapat perbedaan yaitu yang dapat dijelaskan berikut ini:
a.    Pembagian menurut para sarjana telah memasukan keputusan badan-badan arbitrase internasional sebagai sumber hukum sedangkan dalam pasal 38 tidak disebutkan hal ini menurut Bour mauna karena dalam praktek penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase internasional hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakan para pihak pda perjanjian.
b.    Penggolongan sumber hukum internasional menurut para sarjana tidak mencantumkan prinsip-prinsip hukum umum sebagai salah satu sumber hukum, padahal sesuai prinsip-prinsip hukum ini sangat penting bagi hakim sebagai bahan bagi mahkamah internasional untuk membentuk kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah Internasional untuk menyelesaiakn suatu sengketa. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
This propivisons shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto.
“Asas ex aequo et bono” ini berarti bahwa hakim dapat memutuskan sengketa internasional berdasarkan rasa keadilannya (hati nurani) dan kebenaran. Namun sampai saat ini sangat disayangkan bahwasannya asas ini belum pernah dipakai oleh hakim dalam Mahkamah Internasional.
c.    Keputusan atau Ketetapan Organ-organ Internasional atau lembaga-lembaga lain tidak terdapat dalam pasal 38, karena hal ini dinilai sama dengan perjanjian internasional. 

2.2 Berdasarkan sifat daya ikatnya:
Sumber hukum Internasional jika dibedakan berdasarkan sifat daya ikatnya maka dapat dibedakan menjadi sumber hukum primer dan sumber hukum subsider. Sumber hukum primer adalah sumber hukum yang sifatnya paling utama artinya sumber hukum ini dapat berdiri sendiri-sendiri meskipun tanpa keberadaan sumber hukum yang lain. Sedangkan sumber hukum subsider merupakan sumber hukum tambahan yang baru mempunyai daya ikat bagi hakaim dalam memutuskan perkara apabila didukung oleh sumber hukum primer. Hal ini berarti bahwa sumber hukum subsider tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana sumber hukum primer.
2. 2.a Sumber Hukum Primer hukum Internsional
Sumber hukum Primer dari hukum internasional meliputi:
1.    Perjanjian Internasional (International Conventions)
2.    Kebiasaan International (International Custom)
3.    Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.

Oleh karena sumber hukum internasional nomor 1,2,3 merupakan sumber hukum primer maka Mahkamah Internasional dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan berdasarkan sumber hukum nomor 1 saja, 2 saja, atau 3 saja. Namun perlu diketahui bahwa pemberian nomor 1, 2, 3 tidak menunjukan herarki dari sumber hukum tersebut. Artinya bahwa ketiga sumber hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sama tingginya atau yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya dari sumber hukum yang lain.

2.2.b Sumber Hukum Subsider
Bahwa yang termasuk sumber hukum tambahan dalam hukum internasional adalah:
4.    Keputusan Pengadilan.
5.    Pendapat Para sarjana Hukum Internasional yang terkemuka.
Oleh karena sumber hukum internasional nomor 4 dan 5 merupakan sumber hukum subsider maka Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan hanya berdasarkan sumber hukum nomor 4 saja, 5 saja, atau 4 dan 5 saja. Hal ini berarti bahwa kedua sumber hukum tersebut hanya bersifat menambah sumber hukum primer sehingga tidak dapat berdiri sendiri.

2.3  Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum
Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subyek hukum internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral.
Perjanjian Bilateral adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara, sedangkan regional adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-negara dalam satu kawasan sedangkan multilaretal adalah perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan tertentu. Sedangkan menurut Konvensi wina Pasal 2 tahun1969, Perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan sebgai:
“Suatu Persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”


Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:
Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satua atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.

BAB II. DOKTRIN DAN KEPUTUSAN INTERNASIONAL
Doktrin hukum internasional adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut, bahkan doktrin merupakan sumber hukum yang paling penting.
Beberapa doktrin hukum internasional, antara lain:
Doktrin Tobar: suatu negara seharusnya tidak mengakui pemerintahan baru yang diperoleh dengan cara-cara yang inkonstitusional. Doktrin Legitimasi Konstitusional.
Doktrin Stimson (doctrin of non-recognition): untuk wilayah yang diperoleh secara tidak sah. “Negara-negara tidak akan mengakui suatu wilayah yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak damai atau cara-cara abnormal atau pemilikan suatu wilayah yang didapat dengan menggunakan Angkatan Bersenjata”. (Pasal 3 Anti War Pact of Non-Aggression and Conciliation) .
Doktrin Estrada: penolakan pengakuan adalah cara yang tidak baik karena bukan saja bertentangan dengan kedaulatan suatu negara tetapi juga merupakan campur tangan terhadap soal dalam negeri negara lain.

Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan , dari mana asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya.

Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.
Beberapa pakar secara umum membedakan sumber-sumber hukum yang ada ke dalam (kriteria) sumber hukum materiil dan sumber hukum formal, namun terdapat pula beberapa pakar yang membedakan sumber-sumber hukum dalam kriteria yang lain, seperti :
a. Menurut Edward Jenk , bahwa terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu :
1.    Statutory;
2.     Judiciary;
3.     Literaty.
b. Menurut G.W. Keeton , sumber hukum terbagi atas :
1. Binding sources (formal), yang terdiri :
- Custom;
- Legislation;
- Judicial precedents.
2. Persuasive sources (materiil), yang terdiri :
- Principles of morality or equity;
- Professional opinion.
Berlainan dengan sumber hukum utama (primer), keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hanya merupakan sumber hukum tambahan (subsidier), artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sember primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum. Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.
Walapun keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat , keputusan pengadilan internasional, terutama Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of Justice), Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration) mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum internasional.




BAB III. PRINSIP HUKUM UMUM
Sumber hukum yang ketiga dalam hal ini menurut pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah internasional adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa – bangsa yang beradab atau dalam istilahnya yaitu the general principles of law recognized by civilized nation. Yaitu suatu asas hukum yang bersifat umum yang dalam hal ini diakui oleh semua bangsa yang merdeka dan beradab.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan asas hukum umum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem hukum modern dalah hal ini adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi.
Berdasarkan atas kenyataan dan fakta sejarah bahwa pada zaman kejayaan imperialisme dan kolonialisme negara – negara eropa barat sebagai negara maritim dan niaga yang besar telah menjelajahi dan menjajah sebagian besar permukaan bumi, asas dan lembaga hukum tersebut di atas telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Walaupun cara penerimaan asas dan lembaga hukum negara barat tersebut berbeda dalam hal penyerapannya di seluruh dunia, namun tak salah jika mengatakan bahwa banyak asas dan lembaga hukum yang berasal dari negara – negara barat dan didasarkan atas asas dan lembaga hukum dari romawi telah diterima secara umum oleh bangsa – bangsa di dunia dewasa ini. Dalam hal ini yaitu menurut prof. Mochtar kusumaatmadja kualifikasi bangsa – bangsa yang beradab atau civilized nation tidak perlu dalam hubungan ini karena sebutan beradab hanya menimbulkan persoalan saja, dan sebenarnya sudah cukup dan bagus kalau dikatakan prinsip hukum umum diterima oleh bangsa – bangsa yang merdeka di dunia. Dalam hal ini perkataan atau sebutan merdeka menunjuk dan mengarah pada bangsa yang telah mengatur dirinya sendiri menjadi negara anggota masyarakat internasional.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah prinsip hukum umum dan tidak hanya asas hukum internasional. Arti perkataan umum dalam hubungan ini sangat penting karena dengan demikian jelaslah bahwa hukum internasional sebagai suatu sistem hukum merupakan sebagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar yaitu hukum pada umumnya.
Asas hukum yang dimaksud dalam pasal 38 ayat 1 adalah asas hukum umum, sudah tentu juga termasuk didalamnya yaitu suatu asas hukum internasional seperti misalnya yaitu asas kelangsungan negara, penghormatan kemerdekaannegara, nonintervensi dan sebagainya. Dalam hal ini menurut pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah internasional asas hukum umum merupakan suatu sumber hukum formal utama atau primer yang berdiri sendiri disamping perjanjian internasional dan kebiasaan. Hal ini menunjukan pendirian yang berbeda dari kaum positivis yang menganggap bahwa perjanjian internasional dan kebiasaan internasioanal sebagai sumber hukum.
Dalam hal ini asas hukum umum sebagai sumber hukum formal atau primer yang tersendiri disamping kebiasaan dan perjanjian internasional sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukumn positif. Yang pertama yaitu dengan adanya sumber hukum ini mahkamah tidak dapat menyatakan non liquest yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan atau perkara yang diajukan tersebut. Dalam hal ini yang berhubungan erat dengan ini yaitu kedudukan mahkamah internasioanl sebagai badan atau lembaga yang membentuk dan menemukan sumber hukum baru, diperkuat dan terbantu dengan adanya sumber hukum yang ketiga ini. Keleluasaan bergerak yang diberikan oleh sumber hukum ini pada mahkamah internasional dalam membentuk hukum baru sangat berfaedah dan bermanfaat penting bagi perkembangan hukum internasional.

BAB IV. KASUS-KASUS
***Kasus I. Lahirnya Hukum Laut***
Pada abad ke 16 dan ke 17, negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. Negara- negara tersebut adalah negara-negara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan yaitu Spanyol dan Portugis. Namun demikian Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda.
Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codification conference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara.  Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan 4 mil.
Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa- Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konferensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 dan UNCLOS 2.
Konferensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi UNCLOS pertama ini adalah, :
1.          Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II.
2.          Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas), yaitu : Kebebasan pelayaran, Kebebasan menangkap ikan, Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, dan Kebebasan terbang di atas laut lepas
3.          Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention on fishing and conservation of the living resources of the high sea)               .
4.          Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf).
Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

Pada pertemuan konferensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau UNCLOS III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini, disapakati 2 konvensi yaitu:
            Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.
Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi.
Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:
1.       Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa
2.       Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3.       Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4.       Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III
Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna, yaitu: Modernisasi dalam segala bidang kehidupan; Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat; Bertambah pesatnya perdagangan dunia; Bertambah canggihnya komunikasi internasional; dan Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.
Dari penjelasan-penjelasan sejarah konferensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa negara dalam konvensi-konvensi yang selanjut nya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.




***Kasus II. Sengketa Sipadan dan Ligitan***

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

 

Kronologi sengketa

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia.

 

Keputusan Mahkamah Internasional

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,  kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

***Kasus III. Hukum Humaniter Internasional***
Hukum Perang (Laws of War) atau yang sekarang disebut sebagai Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Laws), atau Hukum Konflik Bersenjata (Laws of Armed Conflict) memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban umat manusia, maupun dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, suatu hal yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa.
Dunia telah membuktikan betapa dahsyat dan mengerikannya akibat dari penggunaan bom atom selama masa Perang Dunia II. Bom-bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima mengakibatkan kedua kota tersebut rusak total. Bukan hanya nyawa saja yang hilang, bahkan banyak sekali gedung-gedung yang kokoh menjadi hancur karenanya. Selama Perang Dunia II pula, banyak sekali benda-benda budaya menjadi hancur terkena bom atau peluru-peluru yang digunakan untuk menyerang sasaran musuh oleh para pihak yang berkonflik. Bukan hanya pada saat kontak bersenjata saja, kerusakan tersebut juga terjadi akibat implementasi rasa kebencian yang berlebihan dari pihak-pihak yang berkonflik terhadap musuhnya. Hal ini mendorong diadakannya Konperensi Internasional di Den Haag guna mengatasi dan mencegah akibat yang lebih buruk yang menimpa benda-benda budaya semasa konflik bersenjata. Konperensi dilaksanakan pada tahun 1954 dan menghasilkan Konvensi Den Haag tahun 1954 tentang Perlindungan terhadap Benda-benda Budaya dalam Masa Konflik Bersenjata. Konvensi inilah yang sampai sekarang digunakan untuk mencegah dan melindungi benda budaya dari bahaya kerusakan bilamana suatu negara terlibat dalam suatu konflik bersenjata. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hukum internasional sebelumnya juga telah mengaturnya walaupun pengaturan tentang perlindungan benda budaya tidak dijelaskan secara eksplisit melainkan hanya dikategorikan sebagai obyek-obyek sipil yang tidak boleh dilakukan penyerangan.
Walaupun perlindungan terhadap benda budaya telah diatur di dalam sebuah Konvensi Internasional, tetapi masih ada perilaku-perilaku yang menyebabkan rusak bahkan hancurnya benda budaya. Contohnya dalam masa Perang Dunia II, sebuah kapal Jepang yang bernama “AWA MARU” yang sedang berlayar dari Hongkong menuju Jepang mengangkut benda-benda budaya (relief good). Perjalanan tersebut telah diberitahukan Jepang pada pihak lawannya termasuk Amerika Serikat. Pihak Amerika Serikat pun telah menyampaikan berita tersebut pada Angkatan Bersenjatanya termasuk Angkatan Lautnya. Penerima telegraf (telegrafis) kapal selam Amerika Serikat “Queen Fish” setelah menerima berita tersebut belum dapat menyampaikannya kepada Komandannya, karena sedang melakukan inspeksi di kapal. Sewaktu kapal “Awa Maru” terlihat oleh kapal selam “Queen Fish” pada tanggal 1 April 1945, Komandan kapal selam itu segera memerintahkan untuk men-torpedo kapal “Awa Maru” tersebut hingga tenggelam.
Tindakan Amerika serikat itu diprotes keras oleh pihak Jepang karena melanggar Hukum Internasional dan akhirnya Amerika Serikat menindak  Komandan kapal selam itu dengan mengajukannya ke Mahkamah Militer dan kemudian ia dihukum dibebaskan dari jabatannya.
Cuplikan sejarah diatas disajikan sebagai bahan kajian awal dalam melihat peran Hukum Humaniter Internasional dalam melindungi suatu benda atau benda budaya. Bahkan dalam Konvensi Den Haag tahun 1907 Pasal 27 (Konvensi IV) tentang Peraturan Perang di Darat dinyatakan dengan tegas:
In sieges and bombardments all necessary steps must be taken to spare, as far as possible, buildings dedicated to religion, art, science, or charitable purposes, historic monuments, hospitals, and places where the sick and wounded are collected, provided they are not being used at the time for military purposes.”

Pengaturan tersebut diatas diatur kembali dalam Pasal 5 Konvensi Den Haag IX tahun 1907 tentang Pemboman oleh Armada Angkatan Laut yang menyatakan adanya keharusan bagi para Komandan untuk menyelamatkan benda-benda tersebut dan dalam Pasal 27 Konvensi IV tentang Peraturan Perang di Darat.
Masalah perlindungan terhadap benda-benda budaya juga mendapatkan perhatian khusus dalam Konferensi Diplomatik Hukum Humaniter Internasional dalam Konflik Bersenjata di Jenewa (1974-1977) yang dalam Pasal 53 Protokol Tambahan I Jenewa tahun 1977 ditetapkan bahwa :
“Without prejudice to the provisions of the Hague Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict of 14 May 1954, and of other relevant international instruments, it is prohibited:
 (a) to commit any acts of hostility directed against the historic monuments, works of art or places of worship which constitute the cultural or spiritual heritage of peoples;
(b) to use such objects in support of the military effort;
(c) to make such objects the object of reprisals.”

Selanjutnya ditentukan juga dalam Protokol ini pelarangan ketentuan dalam Pasal 85 ayat (4) dan (5) selain merupakan pelanggaran berat juga sebagai kejahatan perang, hal ini disebutkan :
4.      In addition to the grave breaches defined in the preceding paragraphs and in the Conventions, the following shall be regarded as grave breaches of this Protocol, when committed wilfully and in violation of the Conventions or the Protocol:
a.      the transfer by the occupying Power of parts of its own civilian population into the territory it occupies, or the deportation or transfer of all or parts of the population of the occupied territory within or outside this territory, in violation of Article 49 of the Fourth Convention;
b.      unjustifiable delay in the repatriation of prisoners of war or civilians;
c.      practices of apartheid and other inhuman and degrading practices involving outrages upon personal dignity, based on racial discrimination;
d.      making the clearly-recognized historic monuments, works of art or places of worship which constitute the cultural or spiritual heritage of peoples and to which special protection has been given by special arrangement, for example, within the framework of a competent international organization, the object of attack, causing as a result extensive destruction thereof, where there is no evidence of the violation by the adverse Party of Article 53, subparagraph (b), and when such historic monuments, works of art and places of worship are not located in the immediate proximity of military objectives;
e.        depriving a person protected by the Conventions or referred to in paragraph 2 of this Article of the rights of fair and regular trial.
5.        Without prejudice to the application of the Conventions and of this Protocol, grave breaches of these instruments shall be regarded as war crimes.
        
Adapun peraturan yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan benda budaya yakni Konvensi Den Haag tahun 1954 dengan nama resmi : Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict. The Hague, 14 May 1954.
Didalam Konvensi ini diatur mengenai segala sesuatu tentang perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata maupun dalam masa damai. Konvensi ini dilengkapi dengan dua protokol tambahan.
Dalam Konvensi Den Haag tahun 1954 diatur mengenai pengertian benda budaya. Menurut Pasal 1 Konvensi Den Haag 1954, pengertian benda budaya dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:
 a.         movable or immovable property of great importance to the cultural heritage of every people, such asmonuments of architecture, art or history, whether religious or secular; archaeological sites; groups of buildings which, as a whole, are of historical or artistic interest; works of art; manuscripts, books and other objects of artistic, historical or archaeological interest; as well as scientific collections and important collections of books or archives or of reproductions of the property defined above;
b.         buildings whose main and effective purpose is to preserve or exhibit the movable cultural property defined in sub-paragraph (a) such as museums, large libraries and depositories of archives, and refuges intended to shelter, in the event of armed conflict, the movable cultural property defined in subparagraph (a);
 c.         centres containing a large amount of cultural property as defined in sub-paragraphs (a) and (b), to be known as "centres containing monuments".


Dalam ketentuan tersebut juga menggambarkan adanya suatu keharusan terhadap semua pihak untuk melakukan suatu tindakan-tindakan penghormatan yang dimaksud itu diatur dalam Pasal 4 Konvensi Den Haag 1954, yang berbunyi :
1.        The High Contracting Parties undertake to respect cultural property situated within their own territory as well as within the territory of other High Contracting Parties by refraining from any use of the property and its immediate surroundings or of the appliances in use for its protection for purposes which are likely to expose it to destruction or damage in the event of armed conflict; and by refraining from any act of hostility directed against such property.
2.        The obligations mentioned in paragraph I of the present Article may be waived only in cases where military necessity imperatively requires such a waiver.
3.        The High Contracting Parties further undertake to prohibit, prevent and, if necessary, put a stop to any form of theft, pillage or misappropriation of, and any acts of vandalism directed against, cultural property. They shall, refrain from requisitioning movable cultural property situated in the territory of another High Contracting Party.
4.        They shall refrain from any act directed by way of reprisals against cultural property.
5.        No High Contracting Party may evade the obligations incumbent upon it under the present Article, in respect of another High Contracting Party, by reason of the fact that the latter has not applied the measures of safeguard referred to in Article 3.


Hal ini menunjukkan, bagaimana hebatnya suatu peperangan tetap ada larangan terhadap perusakan benda-benda budaya, hal ini lebih disebabkan karena statusnya sebagai “Common Heritage Of Mankind”.
Akan tetapi pengaturan seperti tersebut diatas memberikan adanya tindakan-tindakan yang memungkinkan bagi para pihak untuk membenarkan tindakannya sendiri, walaupun hal itu jelas-jelas merupakan pelanggaran. Walaupun demikian, dengan mengesampingkan kemungkinan tersebut, Konvensi ini telah menunjukkan adanya suatu keseriusan dalam mengupayakan perlindungan terhadap benda-benda budaya dimasa perang maupun masa damai.
Pengertian ini harus dipahami betul oleh para komandan pasukan yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata atau dalam peperangan karena alasan ketidaktahuan tentang hal itu tidak bisa dijadikan alasan pembelaan di depan badan-badan peradilan nasional maupun internasional.
Hal yang paling penting dimengerti adalah kerusakan terhadap benda budaya sangat merugikan bagi siapapun yang ada di dunia ini tanpa terkecuali. Perlu diketahui bahwasanya benda budaya itu bukan saja gambaran peradaban dari suatu bangsa tertentu akan tetapi secara bersama-sama membentuk suatu peradaban dunia. Dengan demikian adanya “missing link” dalam peradaban bangsa tertentu akan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan peradaban umat manusia seluruhnya. 
Konflik Arab-Israel yang akhirnya menjadi konflik Israel-Palestina telah memakan banyak korban. Bukan hanya korban nyawa manusia yang melayang melainkan juga korban material terutama rusaknya benda-benda bersejarah di wilayah yang dianggap suci oleh tiga agama besar yakni Islam, Kristen, dan Yahudi di wilayah Baitulmaqdis (Yerusalem).
Salah satu yang menjadi korbannya ialah benda-benda bersejarah yang sekaligus benda-benda keagamaan bagi umat Islam yakni Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif. Hal ini menjadikan prioritas oleh karena Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif tersebut merupakan tempat suci umat Islam yang ketiga setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah, dan juga merupakan kiblat pertama umat Islam serta tempat bersejarah bagi perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Beberapa contoh pengerusakan yang dilakukan pihak Israel yakni pembakaran Masjid Al-Aqsa yang terjadi pada kisaran tahun 1967 dan yang lebih memprihatinkan yaitu berupa pengalian-pengalian di bawah kompleks Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif yang terus dilakukan oleh Israel hingga pada saat ini sehingga menyebabkan retaknya dinding Masjid tersebut bahkan hingga runtuh.
Pengalian-pengalian terowongan yang dilakukan oleh Israel dimaksudkan untuk mencari sisa-sisa  Haikal Sulaiman (kuil suci bagi orang Yahudi) yang dihancurkan hingga rata dengan tanah pada tahun 70 Masehi oleh tentara Romawi. Terowongan tersebut digali, mengarah langsung ke Kubbatus Sakhra (Kubah As-Sakhrah atau Kubah Karang atau Dome of the Rock), melintasi ruang bawah Masjid Al-Aqsa lurus ke utara dan jika sudah berfungsi, terowongan itu akan menjadi jalan tembus dari Dinding Ratapan ke Kubah Karang, yang dalam ideologi agama Yahudi, lebih suci lagi daripada Dinding Ratapan.

Bukan hanya itu saja, masih banyak lagi bukti-bukti penodaan israel terhadap tempat-tempat suci di Jerussalem.

Israel telah menggali terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa sepanjang 400 meter dari Kampung Barat Arab memanjang hingga di pondasi-pondasi tembok Al-Buraq di bawah ke utara Kampung Islam.

Tidak hanya disitu saja, pada tanggal 15 februari 2004, sebagian halaman Masjid Al-Aqsa sejauh 100 meter ke salah satu pintu barat masjid longsor akibat terowongan yang digali oleh pemerintah Israel.

Perlindungan Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif merupakan persoalaan yang sangat rumit. Penerapan sanksi terhadap pelaku-pelaku perusakan tersebut sangat kecil kemungkinan untuk dilakukan. Mengingat bahwa tindakan-tindakan perusakan tersebut seringkali tidak dihiraukan oleh pemerintah Israel bahkan mendapatkan dukungan langsung dari pemerintah Israel. Sedangkan pemerintah Israel sendiri juga mengadakan program resmi berupa penggalian-penggalian di bawah kompleks Haram Al-Sharif dengan dalih mencari situs-situs suci umat Yahudi. 
Dengan dalil teologis, pemerintah Israel secara tidak langsung memprogramkan penghancuran Masjid Al-Aqsa. Bahkan peninggalan-peninggalan umat Islam lainnya yang berada di pintu Al-Magharibah Masjid Al-Aqsa yang menjadi lokasi penggalian, dihancurkan guna kelangsungan proses penggalian selanjutnya.
Sebenarnya sanksi-sanksi yang mengancam terhadap pelaku tindak perusakan benda budaya tersebut sudah cukup jelas dimana pada proses penyelesaiaannya dapat ditangani sendiri melalui hukum negara yang bersangkutan seperti yang tercantum dalam Pasal 28 Konvensi Perlindungan Benda Budaya Dalam Masa Konflik Bersenjata, Den Haag 1954, dalam Protokol Konvensi tersebut secara lebih rinci. Akan tetapi didalam prakteknya, penegakan hukum terhadap Konvensi ini tidak pernah dilakukan. Hal ini juga dapat dilihat dari kepentingan pemerintah Israel sendiri walaupun sudah meratifikasi Konvensi tersebut. Oleh karena perusakan Masjid Al-Aqsa Al-Haram Al-Sharif sudah diprogramkan dalam agenda kerja pemerintahan, dan pada akhirnya penegakan sanksi dalam Konvensi ini mustahil dilakukan.
Oleh karena kasus tersebut didalam penegakan langkah-langkah hukumnya tidak berjalan semestinya dan adanya dukungan negara dalam tindak kejahatan tersebut, maka dalam hal ini timbul secara otomatis tanggung jawab negara terhadap masyarakat internasional mengingat bahwa tindakan tersebut sebagai perusakan benda budaya yang notabene adalah warisan bersama umat manusia. Jadi dalam hal ini tidak hanya bangsa Palestina saja yang merasa dirugikan, akan tetapi seluruh bangsa-bangsa beradab di dunia ini.
Alternatif selanjutnya sebagai suatu cara menjatuhkan sanksi kepada pelakunya yaitu membawa persoalan tersebut ke forum-forum internasional seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB, serta melalui laporan-laporan kepada organ-organ khusus PBB (dalam hal ini UNESCO, United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization). Yang pada akhirnya akan ditindaklanjuti penyelesaian konflik tersebut ke forum Mahkamah Internasional.
Mahkamah Internasional diatur dalam Statuta International Court of Justice yang merupakan bagian integral dari Piagam PBB seperti diatur dalam Pasal 92 Piagam PBB dan menjadi lampiran dari Piagam tersebut. Dalam Pasal 93 Piagam PBB menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB secara otomatis menjadi anggota Mahkamah Internasional, sedangkan negara yang bukan anggota PBB juga dapat menjadi anggota Mahkamah Internasional dengan syarat yang ditentukan oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan. Akan tetapi Mahkamah Internasional bersikap pasif, yang artinya baru mengadakan reaksi atau langkah-langkah bila ada pengajuan perkara oleh para pihak dan tidak boleh melakukan inisiatif sendiri untuk memulai suatu perkara, dan sifat penyelesaian di Mahkamah Internasional bersifat fakultatif, bersifat pilihan atas dasar sukarela.
Akan tetapi hal ini menjadi tidak efektif, mengingat terjadi lobi-lobi yang dilakukan sekutu-sekutu Israel (Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain) agar masalah tersebut tidak dijadikan agenda perhatian dan pembahasan di forum-forum internasional tersebut. Faktor kepentingan ekonomis-lah yang akhirnya menjadi pertimbangan kebijakan politik luar negeri bagi negara-negara besar yang menginginkan penguasaan minyak kawasan Timur Tengah yang secara tidak langsung dan perlahan-lahan melalui Israel.



 Kepustakaan
Buku Pengantar Hukum Internasional, Karangan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes.
www.google.com

Ok Gan… untuk blog ini cukup sekian Dari saya, kalau agan ada yang mau ditanyakan ataupun mau request/ meminta sesuatu maka bisa kirim komentar disini, atau dapat mengirim lewat email, kolomnya sudah saya sediakan diatas sebelah kanan, dan saya sangat mengharapkan jika ada kritik dan masukan atau pendapat agan terhadap blog saya. Dan jika ingin berlangganan saya juga silahkan follow blog saya ya, kolomnya ada disebelah kanan ID card saya saya yakni dengan mengklik Join This Site. Serta jangan lupa berbagi Blog ini kepada teman – teman yang lain jika menurut agan berguna baik lewat Twitter, FB atau Jejaring sosial laiinya seperti Kaskus.com
                                                  
OKOKOKOKOK?????? Hehehehehe



No comments:

Post a Comment