BAB I. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
1. Pengertian sumber hukum internasional
Sumber
hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formail dan sumber hukum
materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dilihat dari bentuknya,
sedang sumber hukum materiil adalah segala sesuatu yang menentukan isi dari
hukum. Menurut Starke, sumber hukum materiil hukum internasional diartikan
sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum intrenasional
untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu.
2. Macam-macam sumber hukum Internasional
Sumber hukum
internasional dapat dibedakan berdasarkan
2.1 Berdasarkan penggolongannya:
Berdasarkan
penggolongannya sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua:
2.1.a Penggolongan menurut Pendapat Para sarjana Hukum
Internasional
Para sarjana
Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:
1. Kebiasaan
1. Kebiasaan
2. Traktat
3. Keputusan
Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
4. Karya-karya
Hukum
5. Keputusan atau
Ketetapan Organ-organ/lembaga Internasional
2. 1.b Penggolongan menurut Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional
Sumber Hukum
Internasional menurut ketentuan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional
adalah terdiri dari :
1.
Perjanjian Internasional
(International Conventions)
2.
Kebiasaan International
(International Custom)
3.
Prinsip Hukum Umum (General
Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
4.
Keputusan Pengadilan (judicial
decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Theachings of
the most highly qualified publicists).
Jelas bahwa penggolongan sumber hukum internasional menurut pendapat para sarjana dan menurut pasal 38 ayat 1 Satatuta Mahkamah Internasional terdapat perbedaan yaitu yang dapat dijelaskan berikut ini:
a.
Pembagian menurut para sarjana telah
memasukan keputusan badan-badan arbitrase internasional sebagai sumber hukum
sedangkan dalam pasal 38 tidak disebutkan hal ini menurut Bour mauna karena
dalam praktek penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase internasional hanya
merupakan pilihan hukum dan kesepakan para pihak pda perjanjian.
b.
Penggolongan sumber hukum
internasional menurut para sarjana tidak mencantumkan prinsip-prinsip hukum
umum sebagai salah satu sumber hukum, padahal sesuai prinsip-prinsip hukum ini
sangat penting bagi hakim sebagai bahan bagi mahkamah internasional untuk
membentuk kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum lainnya tidak dapat
membantu Mahkamah Internasional untuk menyelesaiakn suatu sengketa. Hal ini
sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa:
This propivisons shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto.
This propivisons shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto.
“Asas ex aequo et bono” ini berarti bahwa hakim dapat
memutuskan sengketa internasional berdasarkan rasa keadilannya (hati nurani)
dan kebenaran. Namun sampai saat ini sangat disayangkan bahwasannya asas ini
belum pernah dipakai oleh hakim dalam Mahkamah Internasional.
c.
Keputusan atau Ketetapan Organ-organ
Internasional atau lembaga-lembaga lain tidak terdapat dalam pasal 38, karena
hal ini dinilai sama dengan perjanjian internasional.
2.2
Berdasarkan sifat daya ikatnya:
Sumber hukum Internasional jika
dibedakan berdasarkan sifat daya ikatnya maka dapat dibedakan menjadi sumber hukum
primer dan sumber hukum subsider. Sumber hukum primer adalah sumber hukum yang
sifatnya paling utama artinya sumber hukum ini dapat berdiri sendiri-sendiri
meskipun tanpa keberadaan sumber hukum yang lain. Sedangkan sumber hukum
subsider merupakan sumber hukum tambahan yang baru mempunyai daya ikat bagi
hakaim dalam memutuskan perkara apabila didukung oleh sumber hukum primer. Hal
ini berarti bahwa sumber hukum subsider tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana
sumber hukum primer.
2. 2.a Sumber Hukum Primer hukum
Internsional
Sumber
hukum Primer dari hukum internasional meliputi:
1. Perjanjian
Internasional (International Conventions)
2. Kebiasaan
International (International Custom)
3. Prinsip
Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
Oleh
karena sumber hukum internasional nomor 1,2,3 merupakan sumber hukum primer
maka Mahkamah Internasional dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan berdasarkan sumber hukum nomor 1 saja, 2 saja, atau 3 saja.
Namun perlu diketahui bahwa pemberian nomor 1, 2, 3 tidak menunjukan herarki
dari sumber hukum tersebut. Artinya bahwa ketiga sumber hukum tersebut
mempunyai kedudukan yang sama tingginya atau yang satu tidak lebih tinggi atau
lebih rendah kedudukannya dari sumber hukum yang lain.
2.2.b Sumber Hukum Subsider
Bahwa
yang termasuk sumber hukum tambahan dalam hukum internasional adalah:
4. Keputusan
Pengadilan.
5. Pendapat
Para sarjana Hukum Internasional yang terkemuka.
Oleh
karena sumber hukum internasional nomor 4 dan 5 merupakan sumber hukum subsider
maka Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan
kepadanya dengan hanya berdasarkan sumber hukum nomor 4 saja, 5 saja, atau 4
dan 5 saja. Hal ini berarti bahwa kedua sumber hukum tersebut hanya bersifat
menambah sumber hukum primer sehingga tidak dapat berdiri sendiri.
2.3 Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum
Perjanjian
Internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subyek hukum
internasional baik yang berbentuk bilateral, regional maupun multilateral.
Perjanjian Bilateral adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara, sedangkan regional adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-negara dalam satu kawasan sedangkan multilaretal adalah perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan tertentu. Sedangkan menurut Konvensi wina Pasal 2 tahun1969, Perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan sebgai:
“Suatu Persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”
Perjanjian Bilateral adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara, sedangkan regional adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-negara dalam satu kawasan sedangkan multilaretal adalah perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan tertentu. Sedangkan menurut Konvensi wina Pasal 2 tahun1969, Perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan sebgai:
“Suatu Persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:
Perjanjian
Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur
oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik
Indonesia dengan satua atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek
hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada
pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.
BAB II. DOKTRIN DAN
KEPUTUSAN INTERNASIONAL
Doktrin hukum internasional adalah
pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum, terutama pandangan
hakim selalu berpedoman pada pakar tersebut, bahkan doktrin merupakan sumber
hukum yang paling penting.
Beberapa doktrin hukum internasional, antara lain:
Doktrin Tobar: suatu negara seharusnya
tidak mengakui pemerintahan baru yang diperoleh dengan cara-cara yang
inkonstitusional. Doktrin Legitimasi Konstitusional.
Doktrin Stimson (doctrin of
non-recognition): untuk wilayah yang diperoleh secara tidak sah. “Negara-negara
tidak akan mengakui suatu wilayah yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak
damai atau cara-cara abnormal atau pemilikan suatu wilayah yang didapat dengan
menggunakan Angkatan Bersenjata”. (Pasal 3 Anti War Pact of Non-Aggression and
Conciliation) .
Doktrin Estrada: penolakan pengakuan
adalah cara yang tidak baik karena bukan saja bertentangan dengan kedaulatan
suatu negara tetapi juga merupakan campur tangan terhadap soal dalam negeri
negara lain.
Menurut Zevenbergen, sumber hukum adalah sumber
terjadinya hukum; atau sumber yang menimbulkan hukum.
C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan sumber hukum ialah, segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Yang dimaksudkan dengan
segala apa saja, adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya
hukum. Sedang faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum
secara formal artinya ialah, dari mana hukum itu dapat ditemukan , dari mana
asal mulanya hukum, di mana hukum dapat dicari atau di mana hakim dapat
menemukan hukum sebagai dasar dari putusannya.
Menurut Achmad Ali sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Namun perlu diketahui pula bahwa adakalanya sumber hukum juga sekaligus merupakan hukum, contohnya putusan hakim.
Beberapa pakar secara umum membedakan
sumber-sumber hukum yang ada ke dalam (kriteria) sumber hukum materiil dan
sumber hukum formal, namun terdapat pula beberapa pakar yang membedakan
sumber-sumber hukum dalam kriteria yang lain, seperti :
a. Menurut Edward Jenk , bahwa terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu :
a. Menurut Edward Jenk , bahwa terdapat 3 sumber hukum yang biasa ia sebut dengan istilah “forms of law” yaitu :
1. Statutory;
2. Judiciary;
3. Literaty.
b. Menurut G.W. Keeton , sumber hukum terbagi atas :
1. Binding sources
(formal), yang terdiri :
- Custom;
- Legislation;
- Judicial precedents.
2. Persuasive sources
(materiil), yang terdiri :
- Principles of morality or equity;
- Professional opinion.
Berlainan
dengan sumber hukum utama (primer), keputusan pengadilan dan pendapat para
sarjana hanya merupakan sumber hukum tambahan (subsidier), artinya keputusan
pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya
kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sember
primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan asas hukum umum. Keputusan
pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat artinya tidak
dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.
Walapun
keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat , keputusan pengadilan
internasional, terutama Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of
Justice), Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Mahkamah
Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration) mempunyai pengaruh besar
dalam perkembangan hukum internasional.
BAB III. PRINSIP
HUKUM UMUM
Sumber hukum yang ketiga dalam hal ini
menurut pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah internasional adalah asas hukum umum
yang diakui oleh bangsa – bangsa yang beradab atau dalam istilahnya yaitu the
general principles of law recognized by civilized nation. Yaitu suatu asas
hukum yang bersifat umum yang dalam hal ini diakui oleh semua bangsa yang
merdeka dan beradab.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan
asas hukum umum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Sedangkan
yang dimaksud dengan sistem hukum modern dalah hal ini adalah sistem hukum
positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk
sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi.
Berdasarkan atas kenyataan dan fakta
sejarah bahwa pada zaman kejayaan imperialisme dan kolonialisme negara – negara
eropa barat sebagai negara maritim dan niaga yang besar telah menjelajahi dan
menjajah sebagian besar permukaan bumi, asas dan lembaga hukum tersebut di atas
telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Walaupun cara penerimaan asas dan
lembaga hukum negara barat tersebut berbeda dalam hal penyerapannya di seluruh
dunia, namun tak salah jika mengatakan bahwa banyak asas dan lembaga hukum yang
berasal dari negara – negara barat dan didasarkan atas asas dan lembaga hukum
dari romawi telah diterima secara umum oleh bangsa – bangsa di dunia dewasa
ini. Dalam hal ini yaitu menurut prof. Mochtar kusumaatmadja kualifikasi bangsa
– bangsa yang beradab atau civilized nation tidak perlu dalam hubungan ini
karena sebutan beradab hanya menimbulkan persoalan saja, dan sebenarnya sudah
cukup dan bagus kalau dikatakan prinsip hukum umum diterima oleh bangsa – bangsa
yang merdeka di dunia. Dalam hal ini perkataan atau sebutan merdeka menunjuk
dan mengarah pada bangsa yang telah mengatur dirinya sendiri menjadi negara
anggota masyarakat internasional.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa
yang menjadi sumber hukum ialah prinsip hukum umum dan tidak hanya asas hukum
internasional. Arti perkataan umum dalam hubungan ini sangat penting karena
dengan demikian jelaslah bahwa hukum internasional sebagai suatu sistem hukum
merupakan sebagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar yaitu hukum pada
umumnya.
Asas hukum yang dimaksud dalam pasal
38 ayat 1 adalah asas hukum umum, sudah tentu juga termasuk didalamnya yaitu
suatu asas hukum internasional seperti misalnya yaitu asas kelangsungan negara,
penghormatan kemerdekaannegara, nonintervensi dan sebagainya. Dalam hal ini
menurut pasal 38 ayat 1 piagam mahkamah internasional asas hukum umum merupakan
suatu sumber hukum formal utama atau primer yang berdiri sendiri disamping
perjanjian internasional dan kebiasaan. Hal ini menunjukan pendirian yang
berbeda dari kaum positivis yang menganggap bahwa perjanjian internasional dan
kebiasaan internasioanal sebagai sumber hukum.
Dalam hal ini asas hukum umum sebagai
sumber hukum formal atau primer yang tersendiri disamping kebiasaan dan
perjanjian internasional sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum
internasional sebagai sistem hukumn positif. Yang pertama yaitu dengan adanya
sumber hukum ini mahkamah tidak dapat menyatakan non liquest yakni menolak
mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan atau perkara
yang diajukan tersebut. Dalam hal ini yang berhubungan erat dengan ini yaitu
kedudukan mahkamah internasioanl sebagai badan atau lembaga yang membentuk dan
menemukan sumber hukum baru, diperkuat dan terbantu dengan adanya sumber hukum
yang ketiga ini. Keleluasaan bergerak yang diberikan oleh sumber hukum ini pada
mahkamah internasional dalam membentuk hukum baru sangat berfaedah dan
bermanfaat penting bagi perkembangan hukum internasional.
BAB IV. KASUS-KASUS
***Kasus I. Lahirnya
Hukum Laut***
Pada abad ke 16 dan ke 17,
negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan
memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini.
Negara- negara tersebut adalah negara-negara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan
yaitu Spanyol dan Portugis. Namun demikian Spanyol dan Portugis yang menguasai
lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh
tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda.
Konferensi Internasional utama yang membahas
masalah laut teritorial ialah “codification conference” (13 Maret – 12 April
1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi
dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas
luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada
zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6
mil (12 negara), dan 4 mil.
Setelah perdebatan panjang dan tidak
menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah
maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa- Bangsa mengadakan
konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konferensi hukum laut yang
kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 dan UNCLOS
2.
Konferensi hukum laut pertama ini
melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi UNCLOS pertama ini adalah, :
1.
Konvensi
tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea
and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS
II.
2.
Konvensi
tentang laut lepas (convention on the high seas), yaitu : Kebebasan pelayaran,
Kebebasan menangkap ikan, Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan
pipa-pipa, dan Kebebasan terbang di atas laut lepas
3.
Konvensi
tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas
(convention on fishing and conservation of the living resources of the high
sea)
.
4.
Konvensi
tentang landas kontinen (convention on continental shelf).
Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
Pada pertemuan konferensi hukum laut
kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari
kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum
Laut PBB III atau UNCLOS III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,
disapakati 2 konvensi yaitu:
Konvensi hukum laut 1982 merupakan
puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay,
Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.
Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi.
Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi.
Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali
diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:
1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930)
di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I
(1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II
(1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III
(1982) UNCLOS III
Kepentingan dunia atas hukum laut
telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi
negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih
sempurna, yaitu: Modernisasi dalam segala bidang kehidupan; Tersedianya kapal-kapal
yang lebih cepat; Bertambah pesatnya perdagangan dunia; Bertambah canggihnya
komunikasi internasional; dan Pertambahan penduduk dunia yang membawa
konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.
Dari penjelasan-penjelasan sejarah konferensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa negara dalam konvensi-konvensi yang selanjut nya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.
Dari penjelasan-penjelasan sejarah konferensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa negara dalam konvensi-konvensi yang selanjut nya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.
***Kasus II. Sengketa Sipadan dan Ligitan***
Sengketa Sipadan dan Ligitan
adalah persengketaan Indonesia dan
Malaysia
atas pemilikan terhadap kedua pulau
yang berada di Selat
Makassar yaitu pulau Sipadan
(luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan
pulau
Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E.
Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN
namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah
Internasional.
Kronologi sengketa
Persengketaan antara
Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan
teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan
pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu
sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status
quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun
resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia
memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan
selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti
status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara
sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat
Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali ini
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi
pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura
untuk klaim pulau Batu Puteh,
sengketa kepemilikan Sabah
dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan
dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina,
dan Taiwan.
Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara
Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang
ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa
masalah ini ke ICJ
kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur
pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto
akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan
Wakil PM Anwar
Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"
pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49
Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara
pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan
fasilitas kesehatan di Malaysia.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah
sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan
tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan
Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim,
sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15
merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena
berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan
dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris
(penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu
suar
sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak
menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal
dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di
selat Makassar.
***Kasus III. Hukum
Humaniter Internasional***
Hukum Perang (Laws of War) atau
yang sekarang disebut sebagai Hukum Humaniter Internasional (International
Humanitarian Laws), atau Hukum Konflik Bersenjata (Laws of Armed
Conflict) memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban umat manusia,
maupun dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, suatu hal
yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia
hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian
membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat
merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan
pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang
antara bangsa-bangsa.
Dunia telah membuktikan betapa dahsyat
dan mengerikannya akibat dari penggunaan bom atom selama masa Perang Dunia II.
Bom-bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima mengakibatkan kedua kota
tersebut rusak total. Bukan hanya nyawa saja yang hilang, bahkan banyak sekali
gedung-gedung yang kokoh menjadi hancur karenanya. Selama Perang Dunia II pula,
banyak sekali benda-benda budaya menjadi hancur terkena bom atau peluru-peluru
yang digunakan untuk menyerang sasaran musuh oleh para pihak yang berkonflik.
Bukan hanya pada saat kontak bersenjata saja, kerusakan tersebut juga terjadi
akibat implementasi rasa kebencian yang berlebihan dari pihak-pihak yang
berkonflik terhadap musuhnya. Hal ini mendorong diadakannya Konperensi
Internasional di Den Haag guna mengatasi dan mencegah akibat yang lebih buruk yang
menimpa benda-benda budaya semasa konflik bersenjata. Konperensi dilaksanakan
pada tahun 1954 dan menghasilkan Konvensi Den Haag tahun 1954 tentang
Perlindungan terhadap Benda-benda Budaya dalam Masa Konflik Bersenjata.
Konvensi inilah yang sampai sekarang digunakan untuk mencegah dan melindungi
benda budaya dari bahaya kerusakan bilamana suatu negara terlibat dalam suatu
konflik bersenjata. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hukum internasional
sebelumnya juga telah mengaturnya walaupun pengaturan tentang perlindungan
benda budaya tidak dijelaskan secara eksplisit melainkan hanya dikategorikan
sebagai obyek-obyek sipil yang tidak boleh dilakukan penyerangan.
Walaupun perlindungan terhadap benda
budaya telah diatur di dalam sebuah Konvensi Internasional, tetapi masih ada
perilaku-perilaku yang menyebabkan rusak bahkan hancurnya benda budaya.
Contohnya dalam masa Perang Dunia II, sebuah kapal Jepang yang bernama “AWA
MARU” yang sedang berlayar dari Hongkong menuju Jepang mengangkut
benda-benda budaya (relief good). Perjalanan tersebut telah
diberitahukan Jepang pada pihak lawannya termasuk Amerika Serikat. Pihak
Amerika Serikat pun telah menyampaikan berita tersebut pada Angkatan
Bersenjatanya termasuk Angkatan Lautnya. Penerima telegraf (telegrafis) kapal
selam Amerika Serikat “Queen Fish” setelah menerima berita tersebut
belum dapat menyampaikannya kepada Komandannya, karena sedang melakukan
inspeksi di kapal. Sewaktu kapal “Awa Maru” terlihat oleh kapal selam “Queen
Fish” pada tanggal 1 April 1945, Komandan kapal selam itu segera
memerintahkan untuk men-torpedo kapal “Awa Maru” tersebut hingga
tenggelam.
Tindakan Amerika serikat itu diprotes
keras oleh pihak Jepang karena melanggar Hukum Internasional dan akhirnya
Amerika Serikat menindak Komandan kapal
selam itu dengan mengajukannya ke Mahkamah Militer dan kemudian ia dihukum
dibebaskan dari jabatannya.
Cuplikan sejarah diatas disajikan
sebagai bahan kajian awal dalam melihat peran Hukum Humaniter Internasional
dalam melindungi suatu benda atau benda budaya. Bahkan dalam Konvensi Den Haag
tahun 1907 Pasal 27 (Konvensi IV) tentang Peraturan Perang di Darat dinyatakan
dengan tegas:
“In sieges and bombardments all necessary steps must
be taken to spare, as far as possible, buildings dedicated to religion, art,
science, or charitable purposes, historic monuments, hospitals, and places
where the sick and wounded are collected, provided they are not being used at
the time for military purposes.”
Pengaturan tersebut diatas diatur
kembali dalam Pasal 5 Konvensi Den Haag IX tahun 1907 tentang Pemboman oleh
Armada Angkatan Laut yang menyatakan adanya keharusan bagi para Komandan untuk
menyelamatkan benda-benda tersebut dan dalam Pasal 27 Konvensi IV tentang
Peraturan Perang di Darat.
Masalah perlindungan terhadap
benda-benda budaya juga mendapatkan perhatian khusus dalam Konferensi
Diplomatik Hukum Humaniter Internasional dalam Konflik Bersenjata di Jenewa
(1974-1977) yang dalam Pasal 53 Protokol Tambahan I Jenewa tahun 1977
ditetapkan bahwa :
“Without prejudice to the provisions
of the Hague Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of
Armed Conflict of 14 May 1954, and of other relevant international instruments,
it is prohibited:
(a) to commit any acts of hostility directed
against the historic monuments, works of art or places of worship which
constitute the cultural or spiritual heritage of peoples;
(b)
to use such objects in support of the military effort;
(c)
to make such objects the object of reprisals.”
Selanjutnya ditentukan juga dalam
Protokol ini pelarangan ketentuan dalam Pasal 85 ayat (4) dan (5) selain
merupakan pelanggaran berat juga sebagai kejahatan perang, hal ini disebutkan :
4.
In
addition to the grave breaches defined in the preceding paragraphs and in the
Conventions, the following shall be regarded as grave breaches of this
Protocol, when committed wilfully and in violation of the Conventions or the
Protocol:
a.
the
transfer by the occupying Power of parts of its own civilian population into
the territory it occupies, or the deportation or transfer of all or parts of
the population of the occupied territory within or outside this territory, in
violation of Article 49 of the Fourth Convention;
b.
unjustifiable
delay in the repatriation of prisoners of war or civilians;
c.
practices
of apartheid and other inhuman and degrading practices involving outrages upon
personal dignity, based on racial discrimination;
d.
making
the clearly-recognized historic monuments, works of art or places of worship
which constitute the cultural or spiritual heritage of peoples and to which
special protection has been given by special arrangement, for example, within
the framework of a competent international organization, the object of attack,
causing as a result extensive destruction thereof, where there is no evidence
of the violation by the adverse Party of Article 53, subparagraph (b), and when
such historic monuments, works of art and places of worship are not located in
the immediate proximity of military objectives;
e.
depriving
a person protected by the Conventions or referred to in paragraph 2 of this
Article of the rights of fair and regular trial.
5.
Without
prejudice to the application of the Conventions and of this Protocol, grave
breaches of these instruments shall be regarded as war crimes.
Adapun peraturan yang secara spesifik
mengatur tentang perlindungan benda budaya yakni Konvensi Den Haag tahun 1954
dengan nama resmi : Convention for the Protection of Cultural
Property in the Event of Armed Conflict. The Hague, 14 May 1954.
Didalam Konvensi ini diatur mengenai
segala sesuatu tentang perlindungan benda budaya dalam konflik bersenjata
maupun dalam masa damai. Konvensi ini dilengkapi dengan dua protokol tambahan.
Dalam Konvensi Den Haag tahun 1954
diatur mengenai pengertian benda budaya. Menurut Pasal 1 Konvensi Den Haag
1954, pengertian benda budaya dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori,
yaitu:
a.
movable
or immovable property of great importance to the cultural heritage of every
people, such asmonuments of architecture, art or history, whether religious or
secular; archaeological sites; groups of buildings which, as a whole, are of
historical or artistic interest; works of art; manuscripts, books and other
objects of artistic, historical or archaeological interest; as well as
scientific collections and important collections of books or archives or of
reproductions of the property defined above;
b.
buildings
whose main and effective purpose is to preserve or exhibit the movable cultural
property defined in sub-paragraph (a) such as museums, large libraries and
depositories of archives, and refuges intended to shelter, in the event of
armed conflict, the movable cultural property defined in subparagraph (a);
c.
centres
containing a large amount of cultural property as defined in sub-paragraphs (a)
and (b), to be known as "centres containing monuments".
Dalam ketentuan tersebut juga
menggambarkan adanya suatu keharusan terhadap semua pihak untuk melakukan suatu
tindakan-tindakan penghormatan yang dimaksud itu diatur dalam Pasal 4 Konvensi
Den Haag 1954, yang berbunyi :
1.
The
High Contracting Parties undertake to respect cultural property situated within
their own territory as well as within the territory of other High Contracting
Parties by refraining from any use of the property and its immediate
surroundings or of the appliances in use for its protection for purposes which
are likely to expose it to destruction or damage in the event of armed
conflict; and by refraining from any act of hostility directed against such
property.
2.
The
obligations mentioned in paragraph I of the present Article may be waived only
in cases where military necessity imperatively requires such a waiver.
3.
The
High Contracting Parties further undertake to prohibit, prevent and, if
necessary, put a stop to any form of theft, pillage or misappropriation of, and
any acts of vandalism directed against, cultural property. They shall, refrain
from requisitioning movable cultural property situated in the territory of
another High Contracting Party.
4.
They
shall refrain from any act directed by way of reprisals against cultural
property.
5.
No
High Contracting Party may evade the obligations incumbent upon it under the
present Article, in respect of another High Contracting Party, by reason of the
fact that the latter has not applied the measures of safeguard referred to in
Article 3.
Hal ini menunjukkan, bagaimana
hebatnya suatu peperangan tetap ada larangan terhadap perusakan benda-benda
budaya, hal ini lebih disebabkan karena statusnya sebagai “Common Heritage
Of Mankind”.
Akan tetapi pengaturan seperti
tersebut diatas memberikan adanya tindakan-tindakan yang memungkinkan bagi para
pihak untuk membenarkan tindakannya sendiri, walaupun hal itu jelas-jelas
merupakan pelanggaran. Walaupun demikian, dengan mengesampingkan kemungkinan
tersebut, Konvensi ini telah menunjukkan adanya suatu keseriusan dalam
mengupayakan perlindungan terhadap benda-benda budaya dimasa perang maupun masa
damai.
Pengertian ini harus dipahami betul
oleh para komandan pasukan yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata atau
dalam peperangan karena alasan ketidaktahuan tentang hal itu tidak bisa
dijadikan alasan pembelaan di depan badan-badan peradilan nasional maupun
internasional.
Hal yang paling
penting dimengerti adalah kerusakan terhadap benda budaya sangat merugikan bagi
siapapun yang ada di dunia ini tanpa terkecuali. Perlu diketahui bahwasanya
benda budaya itu bukan saja gambaran peradaban dari suatu bangsa tertentu akan
tetapi secara bersama-sama membentuk suatu peradaban dunia. Dengan demikian
adanya “missing link” dalam peradaban bangsa tertentu akan sangat
berpengaruh terhadap kesinambungan peradaban umat manusia seluruhnya.
Konflik Arab-Israel yang akhirnya
menjadi konflik Israel-Palestina telah memakan banyak korban. Bukan hanya
korban nyawa manusia yang melayang melainkan juga korban material terutama
rusaknya benda-benda bersejarah di wilayah yang dianggap suci oleh tiga agama
besar yakni Islam, Kristen, dan Yahudi di wilayah Baitulmaqdis (Yerusalem).
Salah satu yang menjadi korbannya ialah
benda-benda bersejarah yang sekaligus benda-benda keagamaan bagi umat Islam
yakni Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif. Hal ini menjadikan prioritas oleh
karena Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif tersebut merupakan tempat suci umat
Islam yang ketiga setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di
Madinah, dan juga merupakan kiblat pertama umat Islam serta tempat bersejarah
bagi perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Beberapa contoh pengerusakan yang
dilakukan pihak Israel yakni pembakaran Masjid Al-Aqsa yang terjadi pada
kisaran tahun 1967 dan yang lebih memprihatinkan yaitu berupa
pengalian-pengalian di bawah kompleks Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif yang
terus dilakukan oleh Israel hingga pada saat ini sehingga menyebabkan retaknya
dinding Masjid tersebut bahkan hingga runtuh.
Pengalian-pengalian
terowongan yang dilakukan oleh Israel dimaksudkan untuk mencari sisa-sisa Haikal Sulaiman (kuil suci bagi orang Yahudi)
yang dihancurkan hingga rata dengan tanah pada tahun 70 Masehi oleh tentara
Romawi. Terowongan tersebut digali, mengarah langsung ke Kubbatus Sakhra (Kubah
As-Sakhrah atau Kubah Karang atau Dome of the Rock), melintasi ruang
bawah Masjid Al-Aqsa lurus ke utara dan jika sudah berfungsi, terowongan itu
akan menjadi jalan tembus dari Dinding Ratapan ke Kubah Karang, yang dalam
ideologi agama Yahudi, lebih suci lagi daripada Dinding Ratapan.
Bukan hanya itu saja, masih banyak lagi bukti-bukti penodaan israel terhadap tempat-tempat suci di Jerussalem.
Israel telah menggali terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa sepanjang 400 meter dari Kampung Barat Arab memanjang hingga di pondasi-pondasi tembok Al-Buraq di bawah ke utara Kampung Islam.
Tidak hanya disitu saja, pada tanggal 15 februari 2004, sebagian halaman Masjid Al-Aqsa sejauh 100 meter ke salah satu pintu barat masjid longsor akibat terowongan yang digali oleh pemerintah Israel.
Perlindungan Masjidil
Aqsa Al-Haram Al-Sharif merupakan persoalaan yang sangat rumit. Penerapan
sanksi terhadap pelaku-pelaku perusakan tersebut sangat kecil kemungkinan untuk
dilakukan. Mengingat bahwa tindakan-tindakan perusakan tersebut seringkali
tidak dihiraukan oleh pemerintah Israel bahkan mendapatkan dukungan langsung
dari pemerintah Israel. Sedangkan pemerintah Israel sendiri juga mengadakan
program resmi berupa penggalian-penggalian di bawah kompleks Haram Al-Sharif
dengan dalih mencari situs-situs suci umat Yahudi.
Dengan dalil
teologis, pemerintah Israel secara tidak langsung memprogramkan penghancuran
Masjid Al-Aqsa. Bahkan peninggalan-peninggalan umat Islam lainnya yang berada
di pintu Al-Magharibah Masjid Al-Aqsa yang menjadi lokasi penggalian,
dihancurkan guna kelangsungan proses penggalian selanjutnya.
Sebenarnya
sanksi-sanksi yang mengancam terhadap pelaku tindak perusakan benda budaya
tersebut sudah cukup jelas dimana pada proses penyelesaiaannya dapat ditangani
sendiri melalui hukum negara yang bersangkutan seperti yang tercantum dalam
Pasal 28 Konvensi Perlindungan Benda Budaya Dalam Masa Konflik Bersenjata, Den
Haag 1954, dalam Protokol Konvensi tersebut secara lebih rinci. Akan tetapi
didalam prakteknya, penegakan hukum terhadap Konvensi ini tidak pernah
dilakukan. Hal ini juga dapat dilihat dari kepentingan pemerintah Israel
sendiri walaupun sudah meratifikasi Konvensi tersebut. Oleh karena perusakan
Masjid Al-Aqsa Al-Haram Al-Sharif sudah diprogramkan dalam agenda kerja
pemerintahan, dan pada akhirnya penegakan sanksi dalam Konvensi ini mustahil
dilakukan.
Oleh karena kasus
tersebut didalam penegakan langkah-langkah hukumnya tidak berjalan semestinya
dan adanya dukungan negara dalam tindak kejahatan tersebut, maka dalam hal ini
timbul secara otomatis tanggung jawab negara terhadap masyarakat internasional
mengingat bahwa tindakan tersebut sebagai perusakan benda budaya yang notabene
adalah warisan bersama umat manusia. Jadi dalam hal ini tidak hanya bangsa
Palestina saja yang merasa dirugikan, akan tetapi seluruh bangsa-bangsa beradab
di dunia ini.
Alternatif
selanjutnya sebagai suatu cara menjatuhkan sanksi kepada pelakunya yaitu
membawa persoalan tersebut ke forum-forum internasional seperti Majelis Umum
PBB, Dewan Keamanan PBB, serta melalui laporan-laporan kepada organ-organ
khusus PBB (dalam hal ini UNESCO, United Nation Educational, Scientific and
Cultural Organization). Yang pada akhirnya akan ditindaklanjuti
penyelesaian konflik tersebut ke forum Mahkamah Internasional.
Mahkamah
Internasional diatur dalam Statuta International Court of Justice yang
merupakan bagian integral dari Piagam PBB seperti diatur dalam Pasal 92 Piagam
PBB dan menjadi lampiran dari Piagam tersebut. Dalam Pasal 93 Piagam PBB
menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB secara otomatis menjadi anggota
Mahkamah Internasional, sedangkan negara yang bukan anggota PBB juga dapat
menjadi anggota Mahkamah Internasional dengan syarat yang ditentukan oleh
Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan. Akan tetapi Mahkamah
Internasional bersikap pasif, yang artinya baru mengadakan reaksi atau
langkah-langkah bila ada pengajuan perkara oleh para pihak dan tidak boleh
melakukan inisiatif sendiri untuk memulai suatu perkara, dan sifat penyelesaian
di Mahkamah Internasional bersifat fakultatif, bersifat pilihan atas dasar
sukarela.
Akan tetapi hal ini
menjadi tidak efektif, mengingat terjadi lobi-lobi yang dilakukan sekutu-sekutu
Israel (Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain) agar masalah tersebut tidak
dijadikan agenda perhatian dan pembahasan di forum-forum internasional
tersebut. Faktor kepentingan ekonomis-lah yang akhirnya menjadi pertimbangan
kebijakan politik luar negeri bagi negara-negara besar yang menginginkan
penguasaan minyak kawasan Timur Tengah yang secara tidak langsung dan
perlahan-lahan melalui Israel.
Kepustakaan
Buku Pengantar Hukum Internasional,
Karangan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes.
www.google.com
Ok Gan… untuk blog ini cukup sekian Dari saya,
kalau agan ada yang mau ditanyakan ataupun mau request/ meminta sesuatu maka
bisa kirim komentar disini, atau dapat mengirim lewat email, kolomnya sudah
saya sediakan diatas sebelah kanan, dan saya sangat mengharapkan jika ada
kritik dan masukan atau pendapat agan terhadap blog saya. Dan jika ingin
berlangganan saya juga silahkan follow blog saya ya, kolomnya ada disebelah
kanan ID card saya saya yakni dengan mengklik Join This Site. Serta jangan lupa
berbagi Blog ini kepada teman – teman yang lain jika menurut agan berguna baik
lewat Twitter, FB atau Jejaring sosial laiinya seperti Kaskus.com
OKOKOKOKOK?????? Hehehehehe
No comments:
Post a Comment