BAB I. Latar Belakang Pemilihan Kasus
dan Kasus Posisi
A.
Latar
Belakang Pemilihan Kasus
Kasus yang saya pilih adalah
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Perkara Nomor Nomor
030/SKLN-IV/2006 yakni Sengeketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebagai Pemohon dan Presiden Republik Indonesia qq. Menteri komunikasi dan Informasi yang diwakili oleh Menteri Hukum
dan HAM sebagai Termohon. dan
yang menjadi alasan saya memilih kasus inilah karena seperti ini belum
perna di Sengketakan sebelumnya dan benar – benar memerlukan penafsiran hukum
yang tepat dan benar sehingga dapat memuaskan semua pihak. Karena sifat dari
pada Putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat.
Pada perkuliahan sebelumnya
membahas mengenai Kewenangan daripada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan
berakibat pada suatu pertanyaan besar, yakni apakah Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) sebaiknya dibubarkan atau jika sudah effektif apakah perlu ditambahi wewenangnya? ; dalam sengekta
ini juga membahas mengenai daripada Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
tidak hanya dalam konten namun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga
negara. Dan yang menjadi permasalahannya adalah apakah kewenangan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Lembaga Negara diberikan oleh Undang – Undang
Dasar 1945 Amandement ke 4 atau hanya sebatas Lembaga Negara yang wewenangnya
diberikan oleh Undang – Undang. Jika wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebagai Lembaga Negara diberikan berdasarkan Undang – Undang Dasar 1945
Amandement ke 4 maka unsur subjectum
litis namun jika hanya wewenang sebagai lembaga negara berdasarkan pada Undang
– Undang maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak memiliki dasar
untuk menggugat.
Namun
terkait masalah diatas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengunakan alasan bahwa
mereka berdasarkan Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor
005/PUU-I/2003, hal ini jugalah yang membuat saya memilih kasus ini untuk
dilakukan analisa lebih dalam terkait alasan – alasan baik dari pihak Pemohon
dan Termohonan serta menganalisa Putusan Mahkamah Agung tersebut dari
Pertimbangan – Petimbangan yang menjadi acuannya dalam memutus. Tidak hanya Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor
005/PUU-I/2003 yang dibahas dalam
sengketa ini, namun dengan membahas kasus ini maka kita dapat juga mengetahui
putusan yang akan dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait Judisial Review
Undang – Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran tepatnya wewenang Pemerintah dalam mengeluarkan
Peraturan Pemerintah yang mana hal ini menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
bertentangan dengan semangat dan dasar pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia
yang Indepandent, karena kasus ini tidak
hanya membahas mengenai subjectum litis namun juga objectum litis sehingga terkait dari wewenang Pemerintah dalam
mengeluarkan Peraturan Pemerintah juga akan dibahas dan hal ini berkaitan
dengan Putusan terhadap perkara No.031/PUU-IV/2006, sehingga menurut saya
dengan hanya membahas satu sengekta ini maka akan membahas 3 (tiga) Putusan
Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan pilihan dalam tugas ini.
Dan
Mahkamah konstitusi sebagai lembaga yudisial atau salah satu lembaga negara
dalam penegakan hukum terkait konstitusi memegang peranan penting dalam mengadili sengketa yang
tercantum dalam Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4 pasal 24 C tentang
mahkamah konstitusi. Mahkamah Konstitusi atau mahkamah konstitusi berwenang
menguji Undang - Undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4,
mengadili sengketa kewenangan antara lemgaga negara, memutus pembubaran partai
politik, serta mengadili sengketa pemilu. Melihat fungsi Mahkamah Konstitusi
ini dalam Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4, terlihat jelas bahwa
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga yang mempunyai tugas memberikan
kepastian hukum terhadap kasus atau perkara yang diajukan padanya. Apalagi
seperti yang saya katakan diatas bahwa kasus ini belum perna disengketan
sebelumnya sehingga dalam hal ini Hakim Mahkamah Konstitusi haruslah benar –
benar melakukan penggalian nilai – nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat serta penggalian nilai – nilai yang teradapat dalam Undang – Undang
Dasar 1945 amadement ke 4 sehingga tidak akan terjadi kesalahan penafsiran khususnya
dalam kasus ini mengenai lembaga – lembaga neagra yang dasar wewenangnya
berdasarkan dan diberikan oleh Undang – Undang Dasar 1945 amandement ke 4
karena apa yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi ini pastinya akan menjadi
dasar hukum atau Yurisprudensi bagi kasus – kasus selanjutnya.
B.
Kasus
Posisi
Pemohon
telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 22 Desember
2006 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 29 Desember
2006 dan diregistrasi tanggal 29 Desember 2006 dengan Nomor 030/SKLN-IV/2006,
yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal
22 Januari 2007, mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
I. Kewenangan Mengadili
Kewenangan
konstitusional Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final antara lain, untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar kewenangan
tersebut juga ditegaskan kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf b Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Penjabaran ketentuan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 61 UU MK yang
mengatur:
(1)
Pemohon adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan;
(2)
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan
yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang
menjadi termohon;
Dari ketentuan Pasal 61
UU MK tersebut di atas, beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah Pertama, Pemohon maupun Termohon
adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kedua, adanya kewenangan
konstitusional yang dipersengketakan antara Pemohon kepada Termohon, yang mana
kewenangan tersebut merupakan kewenangan konstitusional Pemohon yang diambil
alih dan/atau terganggu oleh tindakan Termohon, serta adanya kepentingan
langsung dengan kewenangan konstitusional yang dimohonkan tersebut;
II. Pihak Yang Bersengketa
a. Versi Pemohon: Komisi Penyiaran Indonesia
Pemohon jelas adalah
lembaga negara, sebagaimana dijelaskan dalam argumentasi di bawah: Pasal 1
Angka 13 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mengatur:
Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat
independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur
dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang
penyiaran;
Kemudian Pasal 7 Ayat
(2) UU Penyiaran mengatur:
KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai
penyiaran;
Posisi lembaga negara
Komisi Penyiaran Indonesia juga telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara Permohonan
Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945, yang menyebutkan bahwa kelahiran KPI
berhubungan dengan kelahiran institusi-institusi demokratis dan
‘lembaga-lembaga negara’ dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak
di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam pertimbangan MK
disebutkan bahwa:
Komisi Independen yang lahir ini memang
merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang
ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk
kepentingan yang lebih besar, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003,
halaman 21-22);
Dalam amar putusan yang
sama Mahkamah Konstitusi menyatakan:
Mahkamah berpendapat bahwa dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan
sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar
perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah
UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga
negara tidak menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, (vide
Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 79);
Permasalahannya terletak
pada apakah kewenangan Pemohon diberikan oleh UUD 1945? Untuk itu perlu
ditegaskan bahwa kata “disebutkan” tidaklah sama
dengan “diberikan”. Karenanya, secara a contrario “tidak disebutkan” juga bukan berarti “tidak diberikan”. Penyebutan
memerlukan pencantuman secara langsung (letterlijk),
sedangkan pemberian tidak berarti harus secara langsung tetapi dapat juga tidak
secara langsung. Artinya, tidak disebutkannya nama Komisi Penyiaran Indonesia
di dalam UUD 1945, bukan berarti tidak
terdapat kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (Pemohon) dalam UUD 1945. Pemikiran
di atas menemukan korelasinya jika dipadankan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 004/SKLN-IV/2006 yang menyebutkan bahwa “Dalam menetapkan
siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945,
Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah
untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk
menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka yang
pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan-kewenangan tertentu
dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa
kewenangan-kewenangan tersebut diberikan”, (vide Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 halaman 88). Artinya, Mahkamah
Konstitusi lebih memperhatikan ke kewenangan dan bukan ke lembaganya. Bahkan,
MK juga kemudian lebih menegaskan bahwa “Mahkamah berpendapat bahwa pengertian
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dapat ditafsirkan tidak
hanya yang tekstual saja tetapi juga termasuk didalamnya kewenangan implisit yang terkandung dalam
suatu kewenangan pokok dan kewenangan yang diperlukan guna menjalankan
kewenangan pokok...”, (vide Putusan
MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 halaman 90-91).
Berdasarkan hal-hal di
atas, Pemohon mendalilkan bahwa meski Komisi Penyiaran Indonesia walau tidak disebutkan di dalam Undang –
Undang Dasar 1945 Amandement ke 4, tetapi sesungguhnya kewenangan itu diberikan melalui Undang – Undang
Dasar 1945 Amandement ke 4. Kewenangan ini merupakan derivasi dari perintah konstitusi yang menjaminkan kemerdekaan
menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai
perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara
kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang –
Undang Dasar 1945 Amandement ke 4. Berkait dengan hal ini, ada beberapa Pasal Undang
– Undang Dasar 1945 Amandement ke 4 yang menjadi bagian “Mengingat” dari UU
Penyiaran yakni untuk bagian formil UU Penyiaran berlandaskan pada Pasal 20
Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 21 Ayat (1), sedangkan untuk bagian materiil UU Penyiaran dilandaskan Pasal 28F, Pasal
31 Ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 Ayat (3), dan Pasal 36. Karenanya Komisi
Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara di bidang penyiaran seharusnya
diartikan ikut bertanggung jawab secara penuh dalam hal pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD 1945 yakni
“Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia”.
Terkhusus yang melalui
penyiaran; Pasal 28F UUD 1945 yang mengatur masalah kebebasan memperoleh
informasi sepatutnya bisa dianggap sebagai dasar kewenangan konstitusional
Komisi Penyiaran Indonesia (Pemohon). Karena sebagaimana diputuskan sendiri
dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003
halaman 78 menyatakan bahwa:
salah satu perwujudan ketentuan Pasal
28 UUD 1945 adalah lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dalam
konsideransnya juga merujuk Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Sementara itu, UU Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran konsiderans mengingatnya merujuk Pasal 28F UUD
1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers;
Dengan demikian kelahiran Undang - Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran tidak lepas kaitannya dengan jaminan pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia mengenai kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan serta hak akan informasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 dan Pasal
28F UUD 1945. Dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi
demikian, jelaslah ada hubungan antara lahirnya Undang-Undang Penyiaran yang
juga menjadi dasar konstitutional kehadiran Pemohon dengan Pasal 28F UUD 1945.
Karena itu sepatutnya Pasal 28F UUD 1945 dibaca sebagai dasar konstitusional
eksistensi dan fungsi Pemohon;
b. Termohon: Presiden qq. Menteri
Komunikasi dan Informatika
Kedudukan Pemerintah dalam hal ini Menteri
Komunikasi dan Informatika sebagai lembaga negara dapat dilihat dengan
menggunakan runtutan logika-logika yuridis sebagai berikut;
(a) Pasal 4 Ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan,
Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar;
(b) Pasal 4 Ayat
(2) menentukan, dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang
Wakil Presiden; dan
(c) Pasal 17 Ayat
(1) menentukan, Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara;
(d) Pasal 17 Ayat
(2) menentukan, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
(e) Pasal 17 Ayat
(3) menentukan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan;
III. Kewenangan Konstitusional Yang
Dipersengketakan
Pemohon merupakan pihak yang menganggap kewenangan konstitusionalnya
diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga
negara yang lain [vide Pasal
3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006]. Sedangkan Presiden melalui Menteri
Komunikasi dan Informatika adalah pihak Termohon yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan,
dan/atau merugikan pemohon, [vide
Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006], Kewenangan konstitusional yang
dipersengketakan adalah:
(1) Sengketa kewenangan pemberian izin
penyelenggaraan penyiaran Pasal 33 Ayat (4) dan (5) UU Penyiaran
mengatur:
Ayat (4) : Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh
negara setelah memperoleh:
(a) masukan dan
hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
(b) rekomendasi
kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
(c) hasil
kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan
antara KPI dan Pemerintah; dan
(d) izin alokasi dan
penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI;
Ayat (5) : Atas dasar hasil kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara
melalui KPI.
Akan tetapi, kewenangan
konstitusional ini diambil alih oleh Termohon dengan hanya menyampaikan
pemberian izin tersebut kepada Pemohon (Lembaga Penyiaran). Pelanggaran
kewenangan konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat
Nomor 271/ DJSKDI/ KOMINFO/ 10/ 2006 yang berisi penyampaian pemberian izin
(dalam hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon. Artinya, Termohon secara tegas
telah melangkahi kewenangan konstitusional Pemohon. Apalagi, sesungguhnya
perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat (5) UU Penyiaran
mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan “Negara melalui KPI” dan
bukan “Pemerintah melalui KPI”.
Bahkan, Termohon sama
sekali tidak ingin menghadiri berbagai rapat bersama dengan Pemohon dalam
menyusun kebijakan mengenai pemberian izin ini. Hal ini dilakukan beberapa kali
dan hanya mendapatkan tanggapan melalui surat misalnya Nomor 347/M.KOMINFO/9/2006
yang berisi tanggapan yuridis ketidakhadiran Termohon. Termohon berdalih dasar
tindakannya adalah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal PP sama sekali tidak
boleh berlawanan dengan ketentuan konstitusi yang dijabarkan oleh UU Penyiaran
yang memberikan porsi peran kepada Pemohon secara lebih besar (untuk hal ini,
KPI juga telah mengajukan uji materiil beberapa PP ke Mahkamah Agung);
(2) Pembuatan aturan dalam hal penyiaran;
Di dalam UU Penyiaran,
telah tergambar wilayah kewenangan KPI dalam menjalankan perintah konstitusi
untuk menjaga hak-hak warga negara yang terkandung pada Pasal 28F UUD 1945. KPI
sebagai lembaga negara yang independen di wilayah penyiaran seharusnya memiliki
kewenangan membentuk peraturan mengenai penyiaran. Pasal 7 Ayat (2) UU
Penyiaran secara tegas mengatur:
“KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”.
Di dalam UU Penyiaran
ditegaskan pula KPI mengatur mengenai lembaga penyiaran publik [Pasal 14 Ayat
(10)]; Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan
nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi [Pasal
18 Ayat (3)]; Ketentuan mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan lembaga
penyiaran swasta [Pasal 18 Ayat (4)]; Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
dan persyaratan izin lembaga penyiaran berlangganan [Pasal 29 Ayat (2)];
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran
asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah [Pasal 30 Ayat (3)]; Ketentuan lebih
lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat
penyiaran [Pasal 32 Ayat (2)]; Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran [Pasal 33 Ayat (8)]; Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif [Pasal 55
Ayat (3)]; Ketentuan alasan khusus dari ketentuan peralihan lembaga penyiaran
[Pasal 60 Ayat (3)]. Pemohon menyadari, Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran
semula memberikan kewenangan-kewenangan dimiliki oleh KPI bersama dengan
Pemerintah, namun oleh Putusan MK Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara
Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945 telah membatalkan
ketentuan-ketentuan tersebut di atas khususnya yang berkaitan dengan anak
kalimat, “KPI bersama...” dengan melalui pintu Pasal 62 Ayat (1) dan (2)
UU Penyiaran.
Meskipun Pemohon telah
sangat memahami alasan MK dalam Putusannya Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 yang
menjelaskan bahwa KPI tidak boleh mempunyai kewenangan yang tergabung antara
eksekutif dan legislatif, namun Putusan MK juga mengakui bahwa:
“Mahkamah berpendapat
bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi
kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran”, (vide Putusan MK Nomor
005/PUU-I/2003, halaman 80).
Dengan
deminikian kewenangan pengaturan di bidang penyiaran harus dikembalikan menjadi
kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak dapat lagi dilakukan oleh Termohon,
sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran. Bahwa
sanya Pemohonlah yang mempunyai kewenangan konstitusional bidang penyiaran
ditegaskan lagi melalui Pasal 1 Angka 13, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Penyiaran. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran harus dilihat sebagai memberikan kewenangan konstitusional, karena
sebagaimana dijelaskan di atas, undang-undang tersebut lahir dan berpijak pada
Pasal 28F UUD 1945, namun pada kenyataannya, ke dua hal yang menjadi kewenangan
Pemohon tersebut di atas justru diambil alih oleh Termohon.
BAB II. Masalah Hukum
dan Tinjauan Teoretik
A. Masalah Hukum
Dalam kasus ini Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) merupakan lembaga
negara penyiaran sesuai dengan Undang – Undang No. 32 tahun 2002, Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai
tugas sebagai lembaga negara Independen yang berwenang mengeluarkan izin
penyelenggaraan penyiaran dan membentuk peraturan di bidang penyiaran
sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 7 dan pasal 8 serta pasal 33 UU
penyiaran no. 32 tahun 2002. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku pemohon senantiasa mengacu pada Pasal
6 Ayat (4) UU Penyiaran yang menyatakan bahwa “untuk penyelenggaraan penyiaran
dibentuk sebuah komisi penyiaran”. Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran menyatakan
bahwa
“Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang bersifat
independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”.
Pasal-pasal
tersebut menyatakan bahwa kewenangan untuk penyelenggaraan penyiaran tidak
diserahkan kepada Pemerintah. Pasal 33 Ayat (4) huruf d UU Penyiaran
menyatakan,
“izin alokasi dan penggunaan spektrum
frekuensi radio oleh pemerintah atas usul KPI”.
Dengan
demikian batasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Pemerintah yaitu Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) berwenang mengurusi
penyelenggaraan penyiaran dan Pemerintah berwenang mengurusi frekuensi. Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) telah
mengajukan surat ke DPR RI yang pada pokoknya menyinggung tentang permasalahan
sengketa kewenangan ini. Dalam surat DPR RI No. PW. 001/1557/DPR RI/2006
tanggal 22 Februari 2006, DPR meminta Pemohon dan juga Termohon untuk
menyelesaikan masalah ini melalui dialog. Termohon berjanji dihadapan publik,
Presiden, dan juga DPR untuk memberikan laporan atas hasil dialog tersebut,
tetapi sampai saat permohonan ini diajukan dan sampai dengan sidang tanggal 19
Februari 2007 tidak ada hasil dari upaya penyelesaian sengketa kewenangan.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada pokoknya menilai bahwa kewenangan untuk
memberikan izin penyelenggaraan penyiaran dan pembentukan peraturan di bidang
penyiaran adalah merupakan kewenangannya sebagaimana yang dicantumkan dalam
pasal 7 ayat 2 UU penyiaran no. 32 tahun 2002 serta pasal 8 ayat 2 dan pasal 33
ayat 4 dan 5 UU penyiaran.
Dalam
hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menganggap
kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau
dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Sedangkan Presiden melalui
Menteri Komunikasi dan Informatika adalah pihak Termohon yang dianggap telah mengambil, mengurangi,
menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon. Melihat dari hal tersebut
diatas jelas bahwa KPI merasa kewenangannya diambil alih atau dikurangi atau
diganggu oleh pemerintah qq. Menkominfo jika mengacu pada pasal 33 ayat 4 dan 5
UU penyiaran.
Dalam hal ini Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) menganggap bahwa berdasarkan pasal 33 ayat 4
dan 5 UU penyiaran no. 32 tahun 2002
bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI dan
dalam hal ini kementrian kominfo dianggap telah mengambil alih kewenangan
konstitusional Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tersebut. Pelanggaran
kewenangan konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat
Nomor 271/DJSKDI/KOMINFO/10/2006 yang berisi penyampaian pemberian izin (dalam
hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon. Bahwasanya Pemohonlah yang mempunyai
kewenangan konstitusional bidang penyiaran ditegaskan lagi melalui Pasal 1
Angka 13, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Penyiaran. Selanjutnya sengketa yang dipermasalahkan oleh KPI terhadap termohon
adalah mengenai kewenangan memberikan izin penyelenggaraan penyiaran dan izin
pembentukan peraturan di bidang penyiaran atau dalam hal penyiaran.
Karena
kementrian kominfo dianggap telah
mengambil alih kewenangan konstitusional KPI tersebut. Pelanggaran
kewenangan konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat
Nomor 271/DJSKDI/KOMINFO/10/2006 yang berisi penyampaian pemberian izin (dalam
hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon. Pelanggaran kewenangan ini dilakukan
termohon dengan cara yaitu pada bulan Juni, Menteri mengeluarkan Permen
memberikan penyesuaian izin kepada hampir semua radio dan TV yang sudah eksis
yang sudah berizin dan bersiaran. Sementara di dalam undang-undang tidak ada
penyesuaian izin yang ada adalah izin, artinya baru dan perpanjangan izin,
padahal kalau menyangkut izin dan perpanjangan izin prosesnya di KPI dan
untukmembuktikan dan menguatkan keberatan yang diajuka oleh Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) maka mereka mendatangkan beberapa saksi ahli, yakni :
1. Saksi
H.A. Effendy Choirie, M.ag, M.H. yang
merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ikut membahas dan
membentuk Undang – Undang No. 32 tahun
2002 tentang penyiaran yang pada pokoknya menjelaskan bahwa di dalam mengatur
penyiaran ini yang di dalamnya menggunakan ranah publik yang terbatas, perlu
diatur oleh satu badan tertentu, badan khusus yang disebut Komisi Penyiaran
Indonesia dan bukan hanya itu landasannya, tetapi juga sekaligus landasan
filosofisnya dan sosiologisnya, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 tidak
menyebut secara langsung, tetapi semangatnya ada di dalam Pasal 33 dan bahwa di
negara-negara demokrasi, dimana setiap penyiaran diatur oleh suatu badan
tertentu, satu lembaga independen yang merepresentasikan masyarakat, dipilih
oleh DPR, bertanggung jawab kepada DPR, kemudian diresmikan oleh Presiden.
2. Ahli
Prof. M. Alwi dahlan, P.hd yang merupakan Guru Besar Ilmu Komunikasi UI, pada
pokoknya menjelakan bahwa bahwa trend ke depan adalah makin banyak
negara yang semula mempunyai regulator Pemerintah mengubah sistemnya menjadi
badan negara yang independen, hal ini dapat dimengerti karena pemikiran arus
zaman adalah lebih demokratisasi dan terkait pada globalisasi. Jadi secara
perspektif komunikasi, memang pengaturan penyiaran berada sepenuhnya di tangan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen baik dipandang dari
konstitusi dan akarnya Pembukaan Undang-Undang Dasar, sehingga perspektif
komunikasi adalah perkembangan regulasi komunikasi dan perkembangan komunikasi
masa depan dan bahwa andaikata Pemerintah yang memberikan izin dimana
Pemerintah terdiri dari perangkat birokrasi yang sudah sangat mantap, tetapi
perangkat birokrasi belum tentu masukannya dipertimbangkan dan menghasilkan hal
yang lebih baik, tetapi kalau KPI dibentuk justru untuk mengatasi permasalahan
birokrasi, badan-badan atau lembaga-lembaga negara independen dibentuk agar
penyelenggaraan hal-hal yang bersangkutan tidak terjebak ke dalam
birokratisasi.
3. Ahli
Effendy ghazali, Ph.D sebagai ahli komunikasi politik, menjelaskan bahwa pada
pokoknya bahwa dalam Pasal 28F Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 dan
Pasal 33, untuk menghindari bentrokan antara pemodal dan
kepentingan-kepentingan publik melahirkan Undang-Undang Penyiaran, pada Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang pada ujungnya melahirkan Komisi
Penyiaran Indonesia. Dalam Pasal 7 Ayat (2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran yang mengatakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan
lembaga negara bersifat independen dan kemudian mengatur hal-hal mengenai
penyiaran, persoalannya kemudian adalah untuk semua hal mengenai penyiaran
tiba-tiba ada kalimat keputusan itu harus disusun oleh Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) bersama Pemerintah. Dalam khazanah penyiaran kita yang akan
menangani penyiaran hanyalah lembaga negara independen seperti KPI, tetapi
kemudian setelah reformasi kita kembali ke sebuah paradigma yang mundur ke
belakang dimana hal-hal mengenai penyiaran diserahkan kepada Menteri Komunikasi
dan Informatika dan jajarannya.
4. Ahli Hinca IP Panjaitan, S.H., M.H., ACCS.,
yang merupakan ahli hukum media yang pada pokoknya menjelaskan sebagai
berikut bahwa memang sesungguhnya tidak ada masalah dengan surat izin, karena
izin bagian dari pengaturan, jelas masuk ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
hal ini disebutkan dalam Pasal 33 Ayat (4), “izin dan perpanjangan izin
penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh izin alokasi
dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah atas usul Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI)”. Jadi sejak awal sudah given, sudah melekat
bahwa alokasi frekuensi, manajemen spektrum frekuensi ada domainnya Pemerintah
(negara) karena memang bagian dari ITU, sehingga ada aturan-aturan yang memang
diikuti secara internasional, supaya frekuensi tidak interferen satu
dengan lainnya, begitu interferen satu dengan lainnya dua-duanya korban.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hadir dalam konteks mengatur keseluruhan
tentang penyiaran dalam bagian yang sederhana mengenai pengaturan, pengawasan,
dan pengendalian kecuali penetapan kebijakan tentang penyiaran.
5. Ahli
Denny Indrayana,S.H.,LL.M, Ph.D, melalui keterangan tertulis menyatakan bahwa berkait dengan perkara SKLN penting
untuk mengargumenkan bahwa:
(1) sengketa yang
diajukan adalah sengketa kewenangan konstitusional (objectum litis).
(2) lembaga yang bersengketa adalah lembaga negara yang
kewenangannya diatur dalam Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 (subjectum
litis).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan bahwa kewenangan
konstitusional yang dipersengketakan adalah:
(1)
kewenangan pemberian izin
penyelenggaraan penyiaran,
(2)
kewenangan pembuatan aturan dalam hal
penyiaran.
Keduanya memang tidak secara tekstual terdapat dalam Undang –
Undang dasar 1945 amandement ke 4. Namun, kedua kewenangan seharusnya dapat
diartikan sebagai lahir dari kewenangan negara untuk melindungi hak asasi
manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F Undang – Undang dasar 1945
amandement ke 4. Dari rumusan Pasal 2 Ayat (1) huruf g tersebut, jelaslah bahwa
lembaga negara yang bisa bersengketa ke hadapan Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat limitatif sehingga
masih membuka penafsiran ke arah yang lebih luas. Pemohon KPI, yang
kewenangannya diberikan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran yang diturunkan oleh Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4,
seharusnya diberi kesempatan untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan
konstitusional di hadapan Mahkamah Konstitusi. Berkait argumen-argumen subjectum
dan objectum litis di atas, maka untuk menjaga konsistensi dan
kepastian hukum, seharusnya kewenangan pemberian izin dan pengaturan penyiaran
diberikan kepada komisi negara independen di bidang penyiaran Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI).
Namun
dalam hal ini Presiden Republik Indonesia qq. Menteri komunikasi dan Informasi yang diwakili oleh Menteri Hukum
dan HAM berpendapat bahwa permohonan pemohon yang dalam hal ini Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) tidak berdasar hukum kuat dan adanya salah penafsiran hukum yang
terdapat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi R.I
Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 sehingga dengan pertimbangan yaitu termohon
menilai bahwa tidak ada kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang –
Undang dasar 1945 amandement ke 4 kepada pemohon yang disengketakan dengan
termohon. Termohon menilai bahwa sengketa diakibatkan karena putusan MK no.
005/PUU-I/2003 yang membatalkan kewenangan pemohon dalam membuat peraturan.
Menurut termohon, pemahaman independent
regulatory body yang diartikan oleh pemohon sebagai satu – satunya
lembaga yang memiliki kewenangan mengatur penyiaran adalah keliru, karena dalam
melaksanakan kewenangannya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (2)
huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) harus bekerjasama dengan
pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. Termohon juga mengaggap bahwa
pemohon selaku perwakilan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah habis masa
jabatannya pada saat perkara ini masuk ke MK dan surat perpanjangan masa
jabatan pemohon belum disahkan oleh presiden. Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, Pemerintah (Termohon) berpendapat bahwa Pemohon
tidak mempunyai kekuatan hukum (legal standing), dalam permohonan
Sengketa Kewenangan Konstitusional Di Bidang Penyiaran Antara Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) Dengan Presiden Republik Indonesia qq. Menteri
Komunikasi dan Informatika. Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah
(Termohon) memohon agar Ketua/ Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon ditolak (void) atau
setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
B. Tinjauan Teoretik
Dalam
hal ini saya akan mengakaji dengan teori – teori hukum yang berlaku, Mahkamah
konstitusi sebagai lembaga yudisial atau salah satu lembaga negara dalam
penegakan hukum terkait konstitusi memegang peranan penting dalam mengadili sengketa yang
tercantum dalam undang – undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945
sebagaimana yang tercantum dalam Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4
pasal 24 C tentang mahkamah konstitusi. mahkamah konstitusi berwenang menguji
Undang - Undang terhadap Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4, mengadili
sengketa kewenangan antara lemgaga negara, memutus pembubaran partai politik,
serta mengadili sengketa pemilu. Melihat fungsi mahkamah konstitusi ini dalam Undang
– Undang dasar 1945 amandement ke 4, terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi
adalah salah satu lembaga yang mempunyai tugas memberikan kepastian hukum
terhadap kasus atau perkara yang diajukan padanya , dalam Pasal 61 Undang –
Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa :
(1).Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
(2).Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan
yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang
menjadi termohon.
Dalam
hal ini pasal Pasal 61 Undang – Undang Mahkamah Konstitusi tersebut di atas,
beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah Pertama, Pemohon maupun Termohon adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4. Kedua, adanya kewenangan
konstitusional yang dipersengketakan antara Pemohon kepada Termohon, yang mana
kewenangan tersebut merupakan kewenangan konstitusional Pemohon yang diambil
alih dan/atau terganggu oleh tindakan Termohon, serta adanya kepentingan
langsung dengan kewenangan konstitusional yang dimohonkan tersebut.
Sementara itu pasal 33 ayat 4 Undang – Undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran menjelaskan bahwa Izin dan
perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah
memperoleh:
a.
masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI.
b.
rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI.
c.
hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan
antara KPI dan Pemerintah.
d.
izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul
KPI.
Dan
pasal 33 ayat 5 menjelaskan bahwa Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan
penyiaran diberikan oleh Negara melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut pasal 33 tersebut, izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara
melaui KPI. Jadi wewenang untuk memberikan izin penyelenggaraan penyiaran
diberikan oleh negara melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut
Habermas pada awalnya media dibentuk dan menjadi bagian intgrasi dari public
sphere, tetapi kemudian dikomersialkan menjadi komoditas (commodified) melalui
distribusi secara massal dan menjual khalayak massa ke perusahaan periklanan
sehingga media menjauh dari peran public sphere . Civil society juga dapat
diwujudkan dengan menggerakkan dinamika kehidupan publik yang berbasis nilai
kultural. Ada dua cara, positf dan negatif, yang positif yakni membangun
otonomi dan indpendensi institusi sosial. Dan yang kedua ialah dengan cara
negatif, yaitu dominasi dan monopoli kekuasaan pasar harus dijauhkan dari
kehidupan publik . Kemudian mengenai status hukum tentang hak siar eksklusif dimasukkan ke
dalam Nighboring Rights. Dalam terminologi lain Neighboring Rights dirumuskan
juga sebgai Rights Related to,or “neighboring on” copy rights (hak yang ada
kaitannya, yang ada hubungannya dengan atau “berdampingan dengan” hak cipta) danDalam Neighboring
Rights terdapat 3 hak yaitu :
1. The rights of performing artists in their performances (hak penampilan
artis atas penampilannya)
2. The rights producers of phonogroms in their phonogroms (hakl produser
rekaman suara atas fiksasi suara atas karya rekaman suara tersebut)
3. The rights of broadcasting organizations in their radio and television
broadcsat (hak lembaga penyiaran atas karya siarannya melalui radio dan
televisi)
Dan
dalam pasal 33 ayat 4 terdapat ketentuan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran
diberikan oleh negara melaui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam artian
bahwa izin diberikan oleh negara setelah mendapatkan rekomendasi kelayakan
penyiaran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sebelumnya telah dengar
pendapat dengan lembaga penyiaran yang meminta izin penyiaran. Selanjtnya pada
huruf c ditegaskan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan setelah ada
forum rapat bersama antara pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Jadi terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dan pemerintah harus rapat dahulu tentang perizinan sebelum memberikan izin.
Dalam
hal ini pemohon harus mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk
bertindak sebagai Pemohon dalam mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk
memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang
– Undang dasar 1945 amandement ke 4 sebagaimana dimaksud Pasal 61 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan pasal 24
C ayat (1) Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 dan pasal 10 ayat (1) Undang
– Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dan pemohon harus
mempunyai kepentingan langsung atas kewenangan yang disengketakan tersebut.
BAB III. Ringkasan Putusan
Nomor 030/SKLN-IV/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan
dalam perkara Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang Kewenangannya
Diberikan Oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
diajukan oleh:
KOMISI PENYIARAN INDONESIA, yang dalam hal ini diwakili oleh Dr.
S. Sinansari Ecip; Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D; Dr. H. Andrik Purwasito, D.E.A;
Dr. Ilya Revianti Sunarwinadi; Dr. Ade Armando, MS; Amelia Hezkasari Day, SS;
Bimo Nugroho Sekundatmo, SE, M.Si; Drs. Dedi Iskandar Muda, MA; beralamat di
Gedung Sekretariat Negara Lantai VI Jalan Gajah Mada Nomor 8, Jakarta;
Masing-masing Wakil Ketua dan Anggota Komisi Penyiaran
Indonesia, bertindak untuk dan atas nama Komisi Penyiaran Indonesia;
Selanjutnya disebut sebagai
................................................. PEMOHON;
Terhadap
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA QQ. MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,
yang dalam hal
ini diwakili oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi
Manusia, Menteri Komunikasi Dan
Informatika, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama
Presiden Republik Indonesia berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 13 Februari
2007;
Selanjutnya disebut sebagai
….…..……………….TERMOHON;
Telah membaca permohonan Pemohon;
Telah mendengar keterangan Pemohon;
Telah membaca keterangan Termohon;
Telah mendengar keterangan Termohon;
Telah membaca keterangan Pihak Terkait Tidak Langsung
Indonesia Media Law and Policy Centre;
Telah mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon;
Telah mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Termohon;
Telah membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon dan
Termohon;
Telah memeriksa bukti-bukti Pemohon dan Termohon;
MENGADILI :
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
BAB IV. Analisis Putusan
Yang dimaksud dengan Permohonan
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) adalah Permohonan yang apabila
peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak memenuhi syarat formil.
Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak permohonan di luar pokok perkara. namun
karena Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan
lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara
kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam
menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa
kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang
disengketakan (objectum litis)
dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada
lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan, sehingga dengan demikian
masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau
tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Hal ini juga dikarenakan daripada sifat putusan
Mahkamah Konstitusi yang Final (pasal 10 ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi). Dan untuk
dapat mengetahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi ini sudah benar dan sudah
dengan prosedur dan aturan hukum yang ada dapat dilihat dari Pertimbangan
Hukumnya, dan yang menjadi Pertimbangan Hukumnya adalah :
A. KEWENANGAN
MAHKAMAH
Yang
pertama menjadi Pertimbangan Utama adalah apakah Mahkamah Konstitusi memiliki Yurisdiksi/
Kewenangan untuk mengadili kasus tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat
(1) UUD 1945 juncto Pasal 10 Ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Dan Pemohon dalam permohonannya mengatasnamakan Komisi Penyiaran Indonesia
(selanjutnya disebut KPI), dan menganggap KPI adalah lembaga negara yang
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, dan kewenangan dimaksud, menurut Pemohon
telah terganggu atau diambil alih oleh Termohon, yaitu Presiden qq.
Menteri Komunikasi dan Informatika. Dan
untuk menentukan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan Pemohon masih ditentukan oleh kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon, maka Mahkamah mempertimbangkannya lebih lanjut dalam bagian Kedudukan
Hukum (legal standing).
B.
Kedudukan
Hukum (legal standing)
Berdasarkan
ketentuan Pasal 61 Ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan:
Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan Penempatan kata ‘sengketa kewenangan’
sebelum kata ‘lembaga negara’ mempunyai arti yang sangat penting, karena
hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah memang
‘sengketa kewenangan’ atau tentang ‘apa yang disengketakan’ dan bukan tentang
‘siapa yang bersengketa’. Pengertiannya akan menjadi lain apabila perumusan
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi:
“sengketa
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.
Dalam rumusan yang disebut terakhir, hal
yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang bersengketa, yaitu lembaga
negara, dan tidak menjadi penting tentang objek sengketanya. Sehingga apabila
demikian rumusannya, maka konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan menjadi forum
penyelesai sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi yang
dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal demikian menurut Mahkamah
bukanlah maksud dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan
“...
sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.
Mahkamah Konstitusi
akan berwenang untuk memutus sengketa apa pun yang tidak ada sangkut-pautnya
sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga negara,
sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara. Kata ‘lembaga negara’
terdapat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan
lembaga negara mana yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) tersebut. Dalam
menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah
adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga
untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana
dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 pertama-tama harus diperhatikan adalah
adanya kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada
lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan.
Karena kewenangan
sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan
negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan
yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama
apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C Ayat
(1) UUD 1945 apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan
kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945. rumusan ‘sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’ mempunyai
maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh UUD saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan
Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan
yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan
Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis ‘kewenangan yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar’, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal
demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang
kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan
Mahkamah.”
Dan dilihat subjectum
litis dalam permohonan ini, Pemohon adalah KPI dan Termohon adalah
Presiden qq. Menteri Komunikasi
dan Informatika. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1),
Pasal (5), dan Pasal (7) UUD 1945, Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika adalah lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Termohon merupakan
subjectum litis dalam perkara a quo. Sementara itu, UUD 1945 tidak
menyebut, apalagi memberikan kewenangan konstitusional kepada KPI. Dengan
demikian, keberadaan KPI bukanlah merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal
61 Ayat (1) Undang
– Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terkait masalah
alasan bahwa KPI yang berlandaskan bahwa KPI merupakan Lembaga Negara yang
kewenangannya juga berdasarkan Konstitusional berdasarkan Putusan Perkara
Nomor 005/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, Mahkamah Konstitusi telah mengakui keberadaan lembaga negara,
namun yang kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar melainkan
oleh peraturan perundang-undangan lainnya yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Maka dari
penjelasan ini sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa KPI salah penafsiran dalam
hal dasar kewenangan sehingga subjectum
litis tidak terpenuhi.
Kemudian dalil Pemohon yang menyatakan, kewenangan
konstitusional Pemohon mengalir secara derivative
dari Pasal 28F UUD 1945, berbunyi:
“Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia”;
Pasal 28F UUD 1945 tersebut, mengatur tentang hak setiap orang untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi, dan bukan mengatur hak dan/atau kewenangan lembaga
negara, apalagi memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan
dengan penyiaran. Kemudian Prof. Dr.
I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Padjadran yang dalam kasus ini sebgai saksi ahli dari Termohon menyatakan entry point-nya mulai dari
Konstitusi itu sendiri atau UUD 1945 khususnya, secara teoritik maupun di dalam
praktik maka sebuah Konstitusi dilihat dari materi muatannya sekurang-kurangnya
ada tiga hal pokok. Pertama, mengatur tentang hak asasi manusia. Kedua,
berkenaan dengan struktur ketatanegaraan, lebih fokus berkenaan dengan
alat-alat kelengkapan negara yang kita kenal di Indonesia dengan
lembaga-lembaga negara. Ketiga, yang menyangkut tentang kewenangan dari
institusi kenegaraan yang bersangkutan. UUD 1945 tidak dibangun berdasarkan
pada doktrin trias politica, dalam arti tidak dibangun berdasarkan separation
of power, melainkan distribution of power. Karena itu alat-alat
kelengkapan negara yang kita miliki sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945
sebetulnya ada tujuh tetapi intinya ada tiga yaitu cabang yaitu kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan ketiga cabang ini memiliki kewenangan
masing-masing yang sudah dikapling dalam kerangka Konstitusi, lebih tegas lagi
dalam kerangka negara berdasarkan atas hukum, meskipun masing-masing dikapling
dengan kewenangannya, satu sama lain masih dibuka kemungkinan untuk mengadakan
kontrol atau penyeimbangan, tetapi khusus yang berkenaan dengan kekuasaan
kehakiman dibiarkan steril dari kontrol, artinya masih tersisa doktrin trias
politica khusus pada kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah Mahkamah
Konstitusi ataupun Mahkamah Agung memang dia dibiarkan steril dari kontrol
institusi kenegaraan lain, tetapi institusi kenegaraan yang di luar kekuasaan
kehakiman tidak luput dari control.
Kemudian berkenaan dengan kekuasaan eksekutif dalam hal ini
Kepala Pemerintahan yang dipegang oleh Presiden, kalau mengacu kepada Pasal 4
Ayat (1) UUD 1945 jelas dan tegas disebutkan bahwa Presidenmemegang kekuasaan
pemerintahan menurut UUD, berarti harus dimaknai dalam arti yang luas karena
urusan pemerintahan demikian kompleks dan banyak, termasuk urusan penyiaran
adalah urusan eksekutif, urusan Presiden yang secara atributif diberikan oleh
Konstitusi melalui Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945. Ada satu kewenangan yang sifatnya
derivatif dari Presiden kepada Menteri dalam hal ini Menteri Komunikasi dan
Informatika, semata-mata karena berkaitan dengan kewenangan untuk mengeluarkan
izin harus dilihat dari kerangka ini, tidak bisa dilihat dari sudut pandang
yang parsial. kewajiban dan tugas utama Pemerintah justru adalah mewakili yang
berkenaan dengan hak asasi manusia, kalau merujuk kepada Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maka menjadi tugas dan tanggung jawab
utama Pemerintah untuk menjamin tegaknya hak asasi manusia termasuk pasal-pasal
yang dikaitkan oleh KPI, karena itu kewenangan penyelenggaraan urusan
pemerintahan khususnya yang menyangkut tentang penyiaran menjadi kewenangan
eksekutif dan merujuk kepada Undang-Undang Penyiaran khusus yang berkenaan
konten adalah kewenangan KPI.
Berkenaan dengan izin,
bahwa Presiden selaku chief of executive, menurut pendapat Strong memiliki
lima fungsi utama. Fungsi legislasi dalam hal pembentukan peraturan perundangan
dalam hal ini PP adalah kewenangan penuh Pemerintah, tidak ada intervensi dari
DPR karena di situ terjadi delegasi dari pembentuk undang-undang kepada
Pemerintah. Bahwa suatu PP yang dikeluarkan akan bertentangan dengan substansi
undang-undang, maka harus dikembalikan kepada kewenangan Pemerintah dilihat
dari salah satu fungsi legislasi dan harus dikaitkan dengan Pasal 5 Ayat (2)
UUD 1945 dalam sistem perundang-undangan di Indonesia untuk mem-break down suatu
undang-undang harus melalui PP, itu perintah Konstitusi sehingga Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tidak dikenal Peraturan KPI, secara eksplisit disebutkan
yang tertinggi adalah UUD dan seterusnya sampai dengan Perda. Jadi tidak tepat
kalau dalam praktik dijumpai ada Peraturan KPI, karena dilihat dalam kerangka
sistem perundang-undangan di Indonesia berdasarkan pada Konstitusi adalah tepat
kalau Pemerintah mengeluarkan PP.
Hal ini dikarenakan Pemerintah dalam hal ini Presiden
memiliki fungsi administrasi, karena pada diri Presiden melekat jabatan sebagai
administratur negara yang tertinggi dan tentu saja memiliki kewenangan, dalam
hal ini mengeluarkan izin, kewenangan mana secara derivatif diberikan kepada
Menteri, yang kebetulan bertanggung jawab di urusan penyiaran. Pemerintah
memiliki fungsi diplomatik, militer, dan fungsi yudisial. Jadi kalau dilihat
dari frame ini, kerangka pemikiran ini adalah tepat;
Dan meskipun
keberadaan KPI dengan merujuk kepada UU Penyiaran disebutkan sebagai lembaga
negara, tetapi kewenangan secara konstitusional sama sekali tidak disebutkan
dalam UUD 1945. Oleh karena itu berkaitan dengan dispute ini, maka KPI dalam hal ini tidak memiliki suatu legal standing kalau dilihat atau stressing-nya dari kewenangan itu,
karena dalam Pasal 61 UU MK jelas dengan tegas menyebutkan sepanjang
kewenangannya itu diberikan oleh UUD 1945, sehingga KPI hadir di sini dengan mengaitkan Pasal 28D UUD
1945 adalah tidak relevan, artinya dia tidak bersinggungan dengan hak
konstitusional KPI sebagai institusi, karena secara jelas dan tegas di situ
bicara orang perorang, setiap orang, jaminan pengakuan terhadap setiap orang.
Kalau mengutip definisi dari hak asasi manusia yang disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada diri manusia sebagai anugerah-Nya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa KPI adalah lembaga negara
yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh undang-undang bukan oleh
Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, karena KPI bukanlah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan
hukum (legal standing) sebagaimana
ditentukan Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) untuk
mengajukan permohonan a quo.
Maka Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi
terkait masalah yang diajukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait
kewenangannya yang dilanggar oleh Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika
sudah tepat, yang mana Putusannya menyatakan bahwa Permohonan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard) karena memang tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan
adanya salah penafsiran aturan hukum yang keliru sehingga menghilangkan dari
dasar wewenang penuntutan.
BAB V. Kesimpulan
Kewenangan yang dimiliki Komisi
Penyiaran Indonesia bukanlah kewenangan yang diberikan oleh Undang – Undang
Dasar 1945 Amandement ke-4 melainkan Kewenangan yang diberikan oleh Undang –
Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Daftar Pustaka
·
Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 005/PUU-I/2003
·
Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara
Nomor 031/PUU-IV/2006
·
Putusan
Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006
·
Undang
– Undang Dasar R.I 1945 amandement ke – 4
·
Undang
– Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
·
Undang
- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
·
Undang
- Undang Nomor 24Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
·
Hukum Telekomunikasi Penyiaran &
Teknologi Informasi Regulasi & Konvergensi Karangan Danrivamto Budhijanto.,S.H.,Ll.M.,In It.Law
·
KAMUS
HUKUM JUNG™ Version 2.0
Ok Gan… untuk blog ini cukup sekian Dari saya, kalau agan ada yang mau
ditanyakan ataupun mau request/ meminta sesuatu maka bisa kirim komentar
disini, atau dapat mengirim lewat email, kolomnya sudah saya sediakan diatas
sebelah kanan, dan saya sangat mengharapkan jika ada kritik dan masukan atau
pendapat agan terhadap blog saya. Dan jika ingin berlangganan saya juga
silahkan follow blog saya ya, kolomnya ada disebelah kanan ID card saya saya
yakni dengan mengklik Join This Site. Serta jangan lupa berbagi Blog ini kepada
teman – teman yang lain jika menurut agan berguna baik lewat Twitter, FB atau
Jejaring sosial laiinya seperti Kaskus.com
OKOKOKOKOK?????? Hehehehehe
No comments:
Post a Comment