Thursday, July 19, 2012

Kewenangan Yang Konstitusional (Diberikan Undang - Undang Dasar 1945) Dan Kewenangan Diamanatkan Oleh Undang - Undang Dasar Melalui Undang - Undang Dihubungkan Dengan Kewenangan Mahkamah Konstutusi Dan Legal Standing (Kedudukan Hukum) Terkait Kasus Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Pemerintah

BAB I. Latar Belakang Pemilihan Kasus dan Kasus Posisi
A.     Latar Belakang Pemilihan Kasus
Kasus yang saya pilih adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Perkara Nomor Nomor 030/SKLN-IV/2006 yakni Sengeketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Pemohon dan Presiden Republik Indonesia qq. Menteri komunikasi dan Informasi yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai Termohon. dan  yang menjadi alasan saya memilih kasus inilah karena seperti ini belum perna di Sengketakan sebelumnya dan benar – benar memerlukan penafsiran hukum yang tepat dan benar sehingga dapat memuaskan semua pihak. Karena sifat dari pada Putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat.
Pada perkuliahan sebelumnya membahas mengenai Kewenangan daripada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan berakibat pada suatu pertanyaan besar, yakni apakah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebaiknya dibubarkan atau jika sudah effektif apakah  perlu ditambahi wewenangnya? ; dalam sengekta ini juga membahas mengenai daripada Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak hanya dalam konten namun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara. Dan yang menjadi permasalahannya adalah apakah kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Lembaga Negara diberikan oleh Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4 atau hanya sebatas Lembaga Negara yang wewenangnya diberikan oleh Undang – Undang. Jika wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai Lembaga Negara diberikan berdasarkan Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4 maka unsur subjectum litis namun jika hanya wewenang sebagai lembaga negara berdasarkan pada Undang – Undang maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak memiliki dasar untuk menggugat.
        Namun terkait masalah diatas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengunakan alasan bahwa mereka berdasarkan Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 005/PUU-I/2003, hal ini jugalah yang membuat saya memilih kasus ini untuk dilakukan analisa lebih dalam terkait alasan – alasan baik dari pihak Pemohon dan Termohonan serta menganalisa Putusan Mahkamah Agung tersebut dari Pertimbangan – Petimbangan yang menjadi acuannya dalam memutus. Tidak hanya Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 yang dibahas dalam sengketa ini, namun dengan membahas kasus ini maka kita dapat juga mengetahui putusan yang akan dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait Judisial Review Undang – Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran  tepatnya wewenang Pemerintah dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mana hal ini menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertentangan dengan semangat dan dasar pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia yang Indepandent, karena  kasus ini tidak hanya membahas mengenai subjectum litis namun juga objectum litis sehingga terkait dari wewenang Pemerintah dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah juga akan dibahas dan hal ini berkaitan dengan Putusan terhadap perkara No.031/PUU-IV/2006, sehingga menurut saya dengan hanya membahas satu sengekta ini maka akan membahas 3 (tiga) Putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan pilihan dalam tugas ini.
              Dan Mahkamah konstitusi sebagai lembaga yudisial atau salah satu lembaga negara dalam penegakan hukum terkait konstitusi memegang peranan  penting dalam mengadili sengketa yang tercantum dalam Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4 pasal 24 C tentang mahkamah konstitusi. Mahkamah Konstitusi atau mahkamah konstitusi berwenang menguji Undang - Undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4, mengadili sengketa kewenangan antara lemgaga negara, memutus pembubaran partai politik, serta mengadili sengketa pemilu. Melihat fungsi Mahkamah Konstitusi ini dalam Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4, terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga yang mempunyai tugas memberikan kepastian hukum terhadap kasus atau perkara yang diajukan padanya. Apalagi seperti yang saya katakan diatas bahwa kasus ini belum perna disengketan sebelumnya sehingga dalam hal ini Hakim Mahkamah Konstitusi haruslah benar – benar melakukan penggalian nilai – nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta penggalian nilai – nilai yang teradapat dalam Undang – Undang Dasar 1945 amadement ke 4 sehingga tidak akan terjadi kesalahan penafsiran khususnya dalam kasus ini mengenai lembaga – lembaga neagra yang dasar wewenangnya berdasarkan dan diberikan oleh Undang – Undang Dasar 1945 amandement ke 4 karena apa yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi ini pastinya akan menjadi dasar hukum atau Yurisprudensi bagi kasus – kasus selanjutnya.

B.     Kasus Posisi
Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 22 Desember 2006 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 29 Desember 2006 dan diregistrasi tanggal 29 Desember 2006 dengan Nomor 030/SKLN-IV/2006, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi tanggal 22 Januari 2007, mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
I.    Kewenangan Mengadili
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final antara lain, untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar kewenangan tersebut juga ditegaskan kembali dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Penjabaran ketentuan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 61 UU MK yang mengatur:
(1)        Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan;
(2)        Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon;
Dari ketentuan Pasal 61 UU MK tersebut di atas, beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah Pertama, Pemohon maupun Termohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kedua, adanya kewenangan konstitusional yang dipersengketakan antara Pemohon kepada Termohon, yang mana kewenangan tersebut merupakan kewenangan konstitusional Pemohon yang diambil alih dan/atau terganggu oleh tindakan Termohon, serta adanya kepentingan langsung dengan kewenangan konstitusional yang dimohonkan tersebut;

II.     Pihak Yang Bersengketa
a.    Versi Pemohon: Komisi Penyiaran Indonesia
Pemohon jelas adalah lembaga negara, sebagaimana dijelaskan dalam argumentasi di bawah: Pasal 1 Angka 13 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mengatur:
Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran;

Kemudian Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran mengatur:
KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran;

Posisi lembaga negara Komisi Penyiaran Indonesia juga telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945, yang menyebutkan bahwa kelahiran KPI berhubungan dengan kelahiran institusi-institusi demokratis dan ‘lembaga-lembaga negara’ dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam pertimbangan MK disebutkan bahwa:
Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances untuk kepentingan yang lebih besar, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 21-22);

Dalam amar putusan yang sama Mahkamah Konstitusi menyatakan:
Mahkamah berpendapat bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 79);

Permasalahannya terletak pada apakah kewenangan Pemohon diberikan oleh UUD 1945? Untuk itu perlu ditegaskan bahwa kata “disebutkan” tidaklah sama dengan “diberikan”. Karenanya, secara a contrario “tidak disebutkan” juga bukan berarti “tidak diberikan”. Penyebutan memerlukan pencantuman secara langsung (letterlijk), sedangkan pemberian tidak berarti harus secara langsung tetapi dapat juga tidak secara langsung. Artinya, tidak disebutkannya nama Komisi Penyiaran Indonesia di dalam UUD 1945, bukan berarti tidak terdapat kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (Pemohon) dalam UUD 1945. Pemikiran di atas menemukan korelasinya jika dipadankan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/SKLN-IV/2006 yang menyebutkan bahwa “Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan”, (vide Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 halaman 88). Artinya, Mahkamah Konstitusi lebih memperhatikan ke kewenangan dan bukan ke lembaganya. Bahkan, MK juga kemudian lebih menegaskan bahwa “Mahkamah berpendapat bahwa pengertian kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dapat ditafsirkan tidak hanya yang tekstual saja tetapi juga termasuk didalamnya kewenangan implisit yang terkandung dalam suatu kewenangan pokok dan kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok...”, (vide Putusan MK Nomor 004/SKLN-IV/2006 halaman 90-91).
Berdasarkan hal-hal di atas, Pemohon mendalilkan bahwa meski Komisi Penyiaran Indonesia walau tidak disebutkan di dalam Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4, tetapi sesungguhnya kewenangan itu diberikan melalui Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4. Kewenangan ini merupakan derivasi dari perintah konstitusi yang menjaminkan kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4. Berkait dengan hal ini, ada beberapa Pasal Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke 4 yang menjadi bagian “Mengingat” dari UU Penyiaran yakni untuk bagian formil UU Penyiaran berlandaskan pada Pasal 20 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 21 Ayat (1), sedangkan untuk bagian materiil UU Penyiaran dilandaskan Pasal 28F, Pasal 31 Ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 Ayat (3), dan Pasal 36. Karenanya Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara di bidang penyiaran seharusnya diartikan ikut bertanggung jawab secara penuh dalam hal pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD 1945 yakni
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Terkhusus yang melalui penyiaran; Pasal 28F UUD 1945 yang mengatur masalah kebebasan memperoleh informasi sepatutnya bisa dianggap sebagai dasar kewenangan konstitusional Komisi Penyiaran Indonesia (Pemohon). Karena sebagaimana diputuskan sendiri dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 halaman 78 menyatakan bahwa:
salah satu perwujudan ketentuan Pasal 28 UUD 1945 adalah lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dalam konsideransnya juga merujuk Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran konsiderans mengingatnya merujuk Pasal 28F UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;

Dengan demikian kelahiran Undang - Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak lepas kaitannya dengan jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia mengenai kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta hak akan informasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945. Dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi demikian, jelaslah ada hubungan antara lahirnya Undang-Undang Penyiaran yang juga menjadi dasar konstitutional kehadiran Pemohon dengan Pasal 28F UUD 1945. Karena itu sepatutnya Pasal 28F UUD 1945 dibaca sebagai dasar konstitusional eksistensi dan fungsi Pemohon;

b.    Termohon: Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika
Kedudukan Pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai lembaga negara dapat dilihat dengan menggunakan runtutan logika-logika yuridis sebagai berikut;
(a) Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar;
(b) Pasal 4 Ayat (2) menentukan, dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden; dan
(c) Pasal 17 Ayat (1) menentukan, Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara;
(d) Pasal 17 Ayat (2) menentukan, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden;
(e) Pasal 17 Ayat (3) menentukan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan;


III.     Kewenangan Konstitusional Yang Dipersengketakan
   Pemohon merupakan pihak yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain [vide Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006]. Sedangkan Presiden melalui Menteri Komunikasi dan Informatika adalah pihak Termohon yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon, [vide Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006], Kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah:
(1)  Sengketa kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran Pasal 33 Ayat (4) dan (5) UU Penyiaran mengatur:
Ayat (4) : Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:
(a) masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
(b) rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
(c) hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan
(d) izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI;

Ayat (5) : Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.

Akan tetapi, kewenangan konstitusional ini diambil alih oleh Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin tersebut kepada Pemohon (Lembaga Penyiaran). Pelanggaran kewenangan konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat Nomor 271/ DJSKDI/ KOMINFO/ 10/ 2006 yang berisi penyampaian pemberian izin (dalam hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon. Artinya, Termohon secara tegas telah melangkahi kewenangan konstitusional Pemohon. Apalagi, sesungguhnya perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat (5) UU Penyiaran mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan “Negara melalui KPI” dan bukan “Pemerintah melalui KPI”.
Bahkan, Termohon sama sekali tidak ingin menghadiri berbagai rapat bersama dengan Pemohon dalam menyusun kebijakan mengenai pemberian izin ini. Hal ini dilakukan beberapa kali dan hanya mendapatkan tanggapan melalui surat misalnya Nomor 347/M.KOMINFO/9/2006 yang berisi tanggapan yuridis ketidakhadiran Termohon. Termohon berdalih dasar tindakannya adalah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal PP sama sekali tidak boleh berlawanan dengan ketentuan konstitusi yang dijabarkan oleh UU Penyiaran yang memberikan porsi peran kepada Pemohon secara lebih besar (untuk hal ini, KPI juga telah mengajukan uji materiil beberapa PP ke Mahkamah Agung);

(2)  Pembuatan aturan dalam hal penyiaran;
Di dalam UU Penyiaran, telah tergambar wilayah kewenangan KPI dalam menjalankan perintah konstitusi untuk menjaga hak-hak warga negara yang terkandung pada Pasal 28F UUD 1945. KPI sebagai lembaga negara yang independen di wilayah penyiaran seharusnya memiliki kewenangan membentuk peraturan mengenai penyiaran. Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran secara tegas mengatur:
“KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”.
Di dalam UU Penyiaran ditegaskan pula KPI mengatur mengenai lembaga penyiaran publik [Pasal 14 Ayat (10)]; Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi [Pasal 18 Ayat (3)]; Ketentuan mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta [Pasal 18 Ayat (4)]; Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan izin lembaga penyiaran berlangganan [Pasal 29 Ayat (2)]; Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah [Pasal 30 Ayat (3)]; Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran [Pasal 32 Ayat (2)]; Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran [Pasal 33 Ayat (8)]; Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif [Pasal 55 Ayat (3)]; Ketentuan alasan khusus dari ketentuan peralihan lembaga penyiaran [Pasal 60 Ayat (3)]. Pemohon menyadari, Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran semula memberikan kewenangan-kewenangan dimiliki oleh KPI bersama dengan Pemerintah, namun oleh Putusan MK Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945 telah membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas khususnya yang berkaitan dengan anak kalimat, “KPI bersama...” dengan melalui pintu Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran.
Meskipun Pemohon telah sangat memahami alasan MK dalam Putusannya Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 yang menjelaskan bahwa KPI tidak boleh mempunyai kewenangan yang tergabung antara eksekutif dan legislatif, namun Putusan MK juga mengakui bahwa:
“Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran”, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 80).

Dengan deminikian kewenangan pengaturan di bidang penyiaran harus dikembalikan menjadi kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak dapat lagi dilakukan oleh Termohon, sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran. Bahwa sanya Pemohonlah yang mempunyai kewenangan konstitusional bidang penyiaran ditegaskan lagi melalui Pasal 1 Angka 13, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Penyiaran. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus dilihat sebagai memberikan kewenangan konstitusional, karena sebagaimana dijelaskan di atas, undang-undang tersebut lahir dan berpijak pada Pasal 28F UUD 1945, namun pada kenyataannya, ke dua hal yang menjadi kewenangan Pemohon tersebut di atas justru diambil alih oleh Termohon.


















BAB II. Masalah Hukum dan Tinjauan Teoretik
A.   Masalah Hukum
Dalam kasus ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga negara penyiaran sesuai dengan Undang – Undang No. 32 tahun 2002, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mempunyai tugas sebagai lembaga negara Independen yang berwenang mengeluarkan izin penyelenggaraan penyiaran dan membentuk peraturan di bidang penyiaran sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 7 dan pasal 8 serta pasal 33 UU penyiaran no. 32 tahun 2002. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  selaku pemohon senantiasa mengacu pada Pasal 6 Ayat (4) UU Penyiaran yang menyatakan bahwa “untuk penyelenggaraan penyiaran dibentuk sebuah komisi penyiaran”. Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran menyatakan bahwa
“Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”.
Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa kewenangan untuk penyelenggaraan penyiaran tidak diserahkan kepada Pemerintah. Pasal 33 Ayat (4) huruf d UU Penyiaran menyatakan,
“izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah atas usul KPI”.
Dengan demikian batasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  dan Pemerintah yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  berwenang mengurusi penyelenggaraan penyiaran dan Pemerintah berwenang mengurusi frekuensi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  telah mengajukan surat ke DPR RI yang pada pokoknya menyinggung tentang permasalahan sengketa kewenangan ini. Dalam surat DPR RI No. PW. 001/1557/DPR RI/2006 tanggal 22 Februari 2006, DPR meminta Pemohon dan juga Termohon untuk menyelesaikan masalah ini melalui dialog. Termohon berjanji dihadapan publik, Presiden, dan juga DPR untuk memberikan laporan atas hasil dialog tersebut, tetapi sampai saat permohonan ini diajukan dan sampai dengan sidang tanggal 19 Februari 2007 tidak ada hasil dari upaya penyelesaian sengketa kewenangan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada pokoknya menilai bahwa kewenangan untuk memberikan izin penyelenggaraan penyiaran dan pembentukan peraturan di bidang penyiaran adalah merupakan kewenangannya sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 7 ayat 2 UU penyiaran no. 32 tahun 2002 serta pasal 8 ayat 2 dan pasal 33 ayat 4 dan 5 UU penyiaran.
Dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Sedangkan Presiden melalui Menteri Komunikasi dan Informatika adalah pihak Termohon yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon. Melihat dari hal tersebut diatas jelas bahwa KPI merasa kewenangannya diambil alih atau dikurangi atau diganggu oleh pemerintah qq. Menkominfo jika mengacu pada pasal 33 ayat 4 dan 5 UU penyiaran.
Dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  menganggap bahwa berdasarkan pasal 33 ayat 4 dan 5  UU penyiaran no. 32 tahun 2002 bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI dan dalam hal ini kementrian kominfo dianggap telah mengambil alih kewenangan konstitusional Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  tersebut. Pelanggaran kewenangan konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat Nomor 271/DJSKDI/KOMINFO/10/2006 yang berisi penyampaian pemberian izin (dalam hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon. Bahwasanya Pemohonlah yang mempunyai kewenangan konstitusional bidang penyiaran ditegaskan lagi melalui Pasal 1 Angka 13, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Penyiaran. Selanjutnya sengketa yang dipermasalahkan oleh KPI terhadap termohon adalah mengenai kewenangan memberikan izin penyelenggaraan penyiaran dan izin pembentukan peraturan di bidang penyiaran atau dalam hal penyiaran.
Karena kementrian kominfo dianggap telah mengambil alih kewenangan konstitusional KPI tersebut. Pelanggaran kewenangan konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat Nomor 271/DJSKDI/KOMINFO/10/2006 yang berisi penyampaian pemberian izin (dalam hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon. Pelanggaran kewenangan ini dilakukan termohon dengan cara yaitu pada bulan Juni, Menteri mengeluarkan Permen memberikan penyesuaian izin kepada hampir semua radio dan TV yang sudah eksis yang sudah berizin dan bersiaran. Sementara di dalam undang-undang tidak ada penyesuaian izin yang ada adalah izin, artinya baru dan perpanjangan izin, padahal kalau menyangkut izin dan perpanjangan izin prosesnya di KPI dan untukmembuktikan dan menguatkan keberatan yang diajuka oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maka mereka mendatangkan beberapa saksi ahli, yakni :
1.    Saksi H.A. Effendy Choirie, M.ag, M.H.  yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ikut membahas dan membentuk Undang – Undang No.  32 tahun 2002 tentang penyiaran yang pada pokoknya menjelaskan bahwa di dalam mengatur penyiaran ini yang di dalamnya menggunakan ranah publik yang terbatas, perlu diatur oleh satu badan tertentu, badan khusus yang disebut Komisi Penyiaran Indonesia dan bukan hanya itu landasannya, tetapi juga sekaligus landasan filosofisnya dan sosiologisnya, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebut secara langsung, tetapi semangatnya ada di dalam Pasal 33 dan bahwa di negara-negara demokrasi, dimana setiap penyiaran diatur oleh suatu badan tertentu, satu lembaga independen yang merepresentasikan masyarakat, dipilih oleh DPR, bertanggung jawab kepada DPR, kemudian diresmikan oleh Presiden.
2.    Ahli Prof. M. Alwi dahlan, P.hd yang merupakan Guru Besar Ilmu Komunikasi UI, pada pokoknya menjelakan bahwa bahwa trend ke depan adalah makin banyak negara yang semula mempunyai regulator Pemerintah mengubah sistemnya menjadi badan negara yang independen, hal ini dapat dimengerti karena pemikiran arus zaman adalah lebih demokratisasi dan terkait pada globalisasi. Jadi secara perspektif komunikasi, memang pengaturan penyiaran berada sepenuhnya di tangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen baik dipandang dari konstitusi dan akarnya Pembukaan Undang-Undang Dasar, sehingga perspektif komunikasi adalah perkembangan regulasi komunikasi dan perkembangan komunikasi masa depan dan bahwa andaikata Pemerintah yang memberikan izin dimana Pemerintah terdiri dari perangkat birokrasi yang sudah sangat mantap, tetapi perangkat birokrasi belum tentu masukannya dipertimbangkan dan menghasilkan hal yang lebih baik, tetapi kalau KPI dibentuk justru untuk mengatasi permasalahan birokrasi, badan-badan atau lembaga-lembaga negara independen dibentuk agar penyelenggaraan hal-hal yang bersangkutan tidak terjebak ke dalam birokratisasi.
3.    Ahli Effendy ghazali, Ph.D sebagai ahli komunikasi politik, menjelaskan bahwa pada pokoknya bahwa dalam Pasal 28F Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 dan Pasal 33, untuk menghindari bentrokan antara pemodal dan kepentingan-kepentingan publik melahirkan Undang-Undang Penyiaran, pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang pada ujungnya melahirkan Komisi Penyiaran Indonesia. Dalam Pasal 7 Ayat (2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga negara bersifat independen dan kemudian mengatur hal-hal mengenai penyiaran, persoalannya kemudian adalah untuk semua hal mengenai penyiaran tiba-tiba ada kalimat keputusan itu harus disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama Pemerintah. Dalam khazanah penyiaran kita yang akan menangani penyiaran hanyalah lembaga negara independen seperti KPI, tetapi kemudian setelah reformasi kita kembali ke sebuah paradigma yang mundur ke belakang dimana hal-hal mengenai penyiaran diserahkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika dan jajarannya.
4.    Ahli Hinca IP Panjaitan, S.H., M.H., ACCS., yang merupakan ahli hukum media yang pada pokoknya menjelaskan sebagai berikut bahwa memang sesungguhnya tidak ada masalah dengan surat izin, karena izin bagian dari pengaturan, jelas masuk ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), hal ini disebutkan dalam Pasal 33 Ayat (4), “izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh pemerintah atas usul Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)”. Jadi sejak awal sudah given, sudah melekat bahwa alokasi frekuensi, manajemen spektrum frekuensi ada domainnya Pemerintah (negara) karena memang bagian dari ITU, sehingga ada aturan-aturan yang memang diikuti secara internasional, supaya frekuensi tidak interferen satu dengan lainnya, begitu interferen satu dengan lainnya dua-duanya korban. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hadir dalam konteks mengatur keseluruhan tentang penyiaran dalam bagian yang sederhana mengenai pengaturan, pengawasan, dan pengendalian kecuali penetapan kebijakan tentang penyiaran.
5.    Ahli Denny Indrayana,S.H.,LL.M, Ph.D, melalui keterangan tertulis menyatakan  bahwa berkait dengan perkara SKLN penting untuk mengargumenkan bahwa:
 (1) sengketa yang diajukan adalah sengketa kewenangan konstitusional (objectum litis).
(2) lembaga yang bersengketa adalah lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 (subjectum litis).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan bahwa kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah:
(1) kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran,
(2) kewenangan pembuatan aturan dalam hal penyiaran.
Keduanya memang tidak secara tekstual terdapat dalam Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4. Namun, kedua kewenangan seharusnya dapat diartikan sebagai lahir dari kewenangan negara untuk melindungi hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4. Dari rumusan Pasal 2 Ayat (1) huruf g tersebut, jelaslah bahwa lembaga negara yang bisa bersengketa ke hadapan Mahkamah Konstitusi tidaklah bersifat limitatif sehingga masih membuka penafsiran ke arah yang lebih luas. Pemohon KPI, yang kewenangannya diberikan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diturunkan oleh Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4, seharusnya diberi kesempatan untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan konstitusional di hadapan Mahkamah Konstitusi. Berkait argumen-argumen subjectum dan objectum litis di atas, maka untuk menjaga konsistensi dan kepastian hukum, seharusnya kewenangan pemberian izin dan pengaturan penyiaran diberikan kepada komisi negara independen di bidang penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

                  Namun dalam hal ini Presiden Republik Indonesia qq. Menteri komunikasi dan Informasi yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM berpendapat bahwa permohonan pemohon yang dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak berdasar hukum kuat  dan adanya salah penafsiran hukum yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 sehingga dengan pertimbangan yaitu termohon menilai bahwa tidak ada kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 kepada pemohon yang disengketakan dengan termohon. Termohon menilai bahwa sengketa diakibatkan karena putusan MK no. 005/PUU-I/2003 yang membatalkan kewenangan pemohon dalam membuat peraturan. Menurut termohon, pemahaman independent  regulatory body yang diartikan oleh pemohon sebagai satu – satunya lembaga yang memiliki kewenangan mengatur penyiaran adalah keliru, karena dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)  harus bekerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. Termohon juga mengaggap bahwa pemohon selaku perwakilan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah habis masa jabatannya pada saat perkara ini masuk ke MK dan surat perpanjangan masa jabatan pemohon belum disahkan oleh presiden. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah (Termohon) berpendapat bahwa Pemohon tidak mempunyai kekuatan hukum (legal standing), dalam permohonan Sengketa Kewenangan Konstitusional Di Bidang Penyiaran Antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dengan Presiden Republik Indonesia qq. Menteri Komunikasi dan Informatika. Atas hal-hal tersebut di atas, Pemerintah (Termohon) memohon agar Ketua/ Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

B.   Tinjauan Teoretik
Dalam hal ini saya akan mengakaji dengan teori – teori hukum yang berlaku, Mahkamah konstitusi sebagai lembaga yudisial atau salah satu lembaga negara dalam penegakan hukum terkait konstitusi memegang peranan  penting dalam mengadili sengketa yang tercantum dalam undang – undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana yang tercantum dalam Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 pasal 24 C tentang mahkamah konstitusi. mahkamah konstitusi berwenang menguji Undang - Undang terhadap Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4, mengadili sengketa kewenangan antara lemgaga negara, memutus pembubaran partai politik, serta mengadili sengketa pemilu. Melihat fungsi mahkamah konstitusi ini dalam Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4, terlihat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga yang mempunyai tugas memberikan kepastian hukum terhadap kasus atau perkara yang diajukan padanya , dalam Pasal 61 Undang – Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa :
(1).Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
(2).Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon.
Dalam hal ini pasal Pasal 61 Undang – Undang Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, beberapa hal yang perlu dijelaskan, adalah Pertama, Pemohon maupun Termohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4. Kedua, adanya kewenangan konstitusional yang dipersengketakan antara Pemohon kepada Termohon, yang mana kewenangan tersebut merupakan kewenangan konstitusional Pemohon yang diambil alih dan/atau terganggu oleh tindakan Termohon, serta adanya kepentingan langsung dengan kewenangan konstitusional yang dimohonkan tersebut.
Sementara itu pasal 33 ayat 4 Undang – Undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran menjelaskan bahwa Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh:
a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI.
b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI.
c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah.
d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI.
Dan pasal 33 ayat 5 menjelaskan bahwa Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut pasal 33 tersebut, izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melaui KPI. Jadi wewenang untuk memberikan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut Habermas pada awalnya media dibentuk dan menjadi bagian intgrasi dari public sphere, tetapi kemudian dikomersialkan menjadi komoditas (commodified) melalui distribusi secara massal dan menjual khalayak massa ke perusahaan periklanan sehingga media menjauh dari peran public sphere . Civil society juga dapat diwujudkan dengan menggerakkan dinamika kehidupan publik yang berbasis nilai kultural. Ada dua cara, positf dan negatif, yang positif yakni membangun otonomi dan indpendensi institusi sosial. Dan yang kedua ialah dengan cara negatif, yaitu dominasi dan monopoli kekuasaan pasar harus dijauhkan dari kehidupan publik . Kemudian mengenai status hukum tentang hak siar eksklusif dimasukkan ke dalam Nighboring Rights. Dalam terminologi lain Neighboring Rights dirumuskan juga sebgai Rights Related to,or “neighboring on” copy rights (hak yang ada kaitannya, yang ada hubungannya dengan atau “berdampingan dengan” hak cipta) danDalam Neighboring Rights terdapat 3 hak yaitu :
1.    The rights of performing artists in their performances (hak penampilan artis atas penampilannya)
2.    The rights producers of phonogroms in their phonogroms (hakl produser rekaman suara atas fiksasi suara atas karya rekaman suara tersebut)
3.    The rights of broadcasting organizations in their radio and television broadcsat (hak lembaga penyiaran atas karya siarannya melalui radio dan televisi)
Dan dalam pasal 33 ayat 4 terdapat ketentuan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melaui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam artian bahwa izin diberikan oleh negara setelah mendapatkan rekomendasi kelayakan penyiaran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sebelumnya telah dengar pendapat dengan lembaga penyiaran yang meminta izin penyiaran. Selanjtnya pada huruf c ditegaskan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan setelah ada forum rapat bersama antara pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jadi terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah harus rapat dahulu tentang perizinan sebelum memberikan izin.
Dalam hal ini pemohon harus mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 sebagaimana dimaksud Pasal 61 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan pasal 24 C ayat (1) Undang – Undang dasar 1945 amandement ke 4 dan pasal 10 ayat (1) Undang – Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dan pemohon harus mempunyai kepentingan langsung atas kewenangan yang disengketakan tersebut.


























BAB III. Ringkasan Putusan
Nomor 030/SKLN-IV/2006
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang Kewenangannya Diberikan Oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diajukan oleh:
KOMISI PENYIARAN INDONESIA, yang dalam hal ini diwakili oleh Dr. S. Sinansari Ecip; Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D; Dr. H. Andrik Purwasito, D.E.A; Dr. Ilya Revianti Sunarwinadi; Dr. Ade Armando, MS; Amelia Hezkasari Day, SS; Bimo Nugroho Sekundatmo, SE, M.Si; Drs. Dedi Iskandar Muda, MA; beralamat di Gedung Sekretariat Negara Lantai VI Jalan Gajah Mada Nomor 8, Jakarta;
Masing-masing Wakil Ketua dan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia, bertindak untuk dan atas nama Komisi Penyiaran Indonesia;
Selanjutnya disebut sebagai ................................................. PEMOHON;
Terhadap

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA QQ. MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, yang  dalam  hal  ini  diwakili oleh  Menteri Hukum Dan Hak Asasi
                  Manusia, Menteri Komunikasi Dan Informatika, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 13 Februari 2007;
Selanjutnya disebut sebagai ….…..……………….TERMOHON;
Telah membaca permohonan Pemohon;
Telah mendengar keterangan Pemohon;
Telah membaca keterangan Termohon;
Telah mendengar keterangan Termohon;
Telah membaca keterangan Pihak Terkait Tidak Langsung Indonesia Media Law and Policy Centre; 
Telah mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon;
Telah mendengar keterangan Saksi dan Ahli dari Termohon;
Telah membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon dan Termohon;
Telah memeriksa bukti-bukti Pemohon dan Termohon;

MENGADILI :
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).





















BAB IV. Analisis Putusan
            Yang dimaksud dengan Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) adalah Permohonan yang apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak  memenuhi syarat formil. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak permohonan di luar pokok perkara.  namun karena Putusan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan, sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Hal ini juga dikarenakan daripada sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang Final (pasal 10 ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). Dan untuk dapat mengetahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi ini sudah benar dan sudah dengan prosedur dan aturan hukum yang ada dapat dilihat dari Pertimbangan Hukumnya, dan yang menjadi Pertimbangan Hukumnya adalah :

A.   KEWENANGAN MAHKAMAH
Yang pertama menjadi Pertimbangan Utama adalah apakah Mahkamah Konstitusi memiliki Yurisdiksi/ Kewenangan untuk mengadili kasus tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 Ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dan Pemohon dalam permohonannya mengatasnamakan Komisi Penyiaran Indonesia (selanjutnya disebut KPI), dan menganggap KPI adalah lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, dan kewenangan dimaksud, menurut Pemohon telah terganggu atau diambil alih oleh Termohon, yaitu Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika.  Dan untuk menentukan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon masih ditentukan oleh kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, maka Mahkamah mempertimbangkannya lebih lanjut dalam bagian Kedudukan Hukum (legal standing).

B.   Kedudukan Hukum (legal standing)
Berdasarkan ketentuan Pasal 61 Ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan Penempatan kata ‘sengketa kewenangan’ sebelum kata ‘lembaga negara’ mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah memang ‘sengketa kewenangan’ atau tentang ‘apa yang disengketakan’ dan bukan tentang ‘siapa yang bersengketa’. Pengertiannya akan menjadi lain apabila perumusan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi:
“sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.
      Dalam rumusan yang disebut terakhir, hal yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang bersengketa, yaitu lembaga negara, dan tidak menjadi penting tentang objek sengketanya. Sehingga apabila demikian rumusannya, maka konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan menjadi forum penyelesai sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi yang dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal demikian menurut Mahkamah bukanlah maksud dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan
“... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.

Mahkamah Konstitusi akan berwenang untuk memutus sengketa apa pun yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga negara, sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara. Kata ‘lembaga negara’ terdapat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga negara mana yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan.
Karena kewenangan sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945. rumusan ‘sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’ mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh UUD saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis ‘kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar’, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah.”
Dan dilihat subjectum litis dalam permohonan ini, Pemohon adalah KPI dan Termohon adalah Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1), Pasal (5), dan Pasal (7) UUD 1945, Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Termohon merupakan subjectum litis dalam perkara a quo. Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan kewenangan konstitusional kepada KPI. Dengan demikian, keberadaan KPI bukanlah merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1) Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan terkait masalah alasan bahwa KPI yang berlandaskan bahwa KPI merupakan Lembaga Negara yang kewenangannya juga berdasarkan Konstitusional berdasarkan Putusan Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Mahkamah Konstitusi telah mengakui keberadaan lembaga negara, namun yang kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar melainkan oleh peraturan perundang-undangan lainnya yakni  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Maka dari penjelasan ini sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa KPI salah penafsiran dalam hal dasar kewenangan sehingga subjectum litis tidak terpenuhi.
Kemudian dalil Pemohon yang menyatakan, kewenangan konstitusional Pemohon mengalir secara derivative dari Pasal 28F UUD 1945, berbunyi:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;

Pasal 28F UUD 1945 tersebut, mengatur tentang hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan bukan mengatur hak dan/atau kewenangan lembaga negara, apalagi memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan dengan penyiaran. Kemudian Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadran yang dalam kasus ini sebgai saksi ahli dari Termohon menyatakan entry point-nya mulai dari Konstitusi itu sendiri atau UUD 1945 khususnya, secara teoritik maupun di dalam praktik maka sebuah Konstitusi dilihat dari materi muatannya sekurang-kurangnya ada tiga hal pokok. Pertama, mengatur tentang hak asasi manusia. Kedua, berkenaan dengan struktur ketatanegaraan, lebih fokus berkenaan dengan alat-alat kelengkapan negara yang kita kenal di Indonesia dengan lembaga-lembaga negara. Ketiga, yang menyangkut tentang kewenangan dari institusi kenegaraan yang bersangkutan. UUD 1945 tidak dibangun berdasarkan pada doktrin trias politica, dalam arti tidak dibangun berdasarkan separation of power, melainkan distribution of power. Karena itu alat-alat kelengkapan negara yang kita miliki sesudah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebetulnya ada tujuh tetapi intinya ada tiga yaitu cabang yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan ketiga cabang ini memiliki kewenangan masing-masing yang sudah dikapling dalam kerangka Konstitusi, lebih tegas lagi dalam kerangka negara berdasarkan atas hukum, meskipun masing-masing dikapling dengan kewenangannya, satu sama lain masih dibuka kemungkinan untuk mengadakan kontrol atau penyeimbangan, tetapi khusus yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman dibiarkan steril dari kontrol, artinya masih tersisa doktrin trias politica khusus pada kekuasaan kehakiman, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung memang dia dibiarkan steril dari kontrol institusi kenegaraan lain, tetapi institusi kenegaraan yang di luar kekuasaan kehakiman tidak luput dari control.
Kemudian berkenaan dengan kekuasaan eksekutif dalam hal ini Kepala Pemerintahan yang dipegang oleh Presiden, kalau mengacu kepada Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 jelas dan tegas disebutkan bahwa Presidenmemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, berarti harus dimaknai dalam arti yang luas karena urusan pemerintahan demikian kompleks dan banyak, termasuk urusan penyiaran adalah urusan eksekutif, urusan Presiden yang secara atributif diberikan oleh Konstitusi melalui Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945. Ada satu kewenangan yang sifatnya derivatif dari Presiden kepada Menteri dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika, semata-mata karena berkaitan dengan kewenangan untuk mengeluarkan izin harus dilihat dari kerangka ini, tidak bisa dilihat dari sudut pandang yang parsial. kewajiban dan tugas utama Pemerintah justru adalah mewakili yang berkenaan dengan hak asasi manusia, kalau merujuk kepada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maka menjadi tugas dan tanggung jawab utama Pemerintah untuk menjamin tegaknya hak asasi manusia termasuk pasal-pasal yang dikaitkan oleh KPI, karena itu kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan khususnya yang menyangkut tentang penyiaran menjadi kewenangan eksekutif dan merujuk kepada Undang-Undang Penyiaran khusus yang berkenaan konten adalah kewenangan KPI.
 Berkenaan dengan izin, bahwa Presiden selaku chief of executive, menurut pendapat Strong memiliki lima fungsi utama. Fungsi legislasi dalam hal pembentukan peraturan perundangan dalam hal ini PP adalah kewenangan penuh Pemerintah, tidak ada intervensi dari DPR karena di situ terjadi delegasi dari pembentuk undang-undang kepada Pemerintah. Bahwa suatu PP yang dikeluarkan akan bertentangan dengan substansi undang-undang, maka harus dikembalikan kepada kewenangan Pemerintah dilihat dari salah satu fungsi legislasi dan harus dikaitkan dengan Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 dalam sistem perundang-undangan di Indonesia untuk mem-break down suatu undang-undang harus melalui PP, itu perintah Konstitusi sehingga Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak dikenal Peraturan KPI, secara eksplisit disebutkan yang tertinggi adalah UUD dan seterusnya sampai dengan Perda. Jadi tidak tepat kalau dalam praktik dijumpai ada Peraturan KPI, karena dilihat dalam kerangka sistem perundang-undangan di Indonesia berdasarkan pada Konstitusi adalah tepat kalau Pemerintah mengeluarkan PP.
Hal ini dikarenakan Pemerintah dalam hal ini Presiden memiliki fungsi administrasi, karena pada diri Presiden melekat jabatan sebagai administratur negara yang tertinggi dan tentu saja memiliki kewenangan, dalam hal ini mengeluarkan izin, kewenangan mana secara derivatif diberikan kepada Menteri, yang kebetulan bertanggung jawab di urusan penyiaran. Pemerintah memiliki fungsi diplomatik, militer, dan fungsi yudisial. Jadi kalau dilihat dari frame ini, kerangka pemikiran ini adalah tepat;
Dan meskipun keberadaan KPI dengan merujuk kepada UU Penyiaran disebutkan sebagai lembaga negara, tetapi kewenangan secara konstitusional sama sekali tidak disebutkan dalam UUD 1945. Oleh karena itu berkaitan dengan dispute ini, maka KPI dalam hal ini tidak memiliki suatu legal standing kalau dilihat atau stressing-nya dari kewenangan itu, karena dalam Pasal 61 UU MK jelas dengan tegas menyebutkan sepanjang kewenangannya itu diberikan oleh UUD 1945, sehingga KPI hadir di sini dengan mengaitkan Pasal 28D UUD 1945 adalah tidak relevan, artinya dia tidak bersinggungan dengan hak konstitusional KPI sebagai institusi, karena secara jelas dan tegas di situ bicara orang perorang, setiap orang, jaminan pengakuan terhadap setiap orang. Kalau mengutip definisi dari hak asasi manusia yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada diri manusia sebagai anugerah-Nya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa KPI adalah lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh undang-undang bukan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, karena KPI bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) untuk mengajukan permohonan a quo.
Maka Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait masalah yang diajukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait kewenangannya yang dilanggar oleh Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika sudah tepat, yang mana Putusannya menyatakan bahwa Permohonan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) karena memang tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan adanya salah penafsiran aturan hukum yang keliru sehingga menghilangkan dari dasar wewenang penuntutan.

















BAB V. Kesimpulan
               Kewenangan yang dimiliki Komisi Penyiaran Indonesia bukanlah kewenangan yang diberikan oleh Undang – Undang Dasar 1945 Amandement ke-4 melainkan Kewenangan yang diberikan oleh Undang – Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.



























Daftar Pustaka
·         Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 005/PUU-I/2003
·         Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 031/PUU-IV/2006
·         Putusan Mahkamah Konstitusi R.I Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006
·         Undang – Undang Dasar R.I 1945 amandement ke – 4
·         Undang – Undang  No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
·         Undang - Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
·         Undang - Undang Nomor 24Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
·         Hukum Telekomunikasi Penyiaran & Teknologi Informasi Regulasi & Konvergensi Karangan Danrivamto Budhijanto.,S.H.,Ll.M.,In It.Law
·         KAMUS HUKUM JUNG™ Version 2.0

 
Ok Gan… untuk blog ini cukup sekian Dari saya, kalau agan ada yang mau ditanyakan ataupun mau request/ meminta sesuatu maka bisa kirim komentar disini, atau dapat mengirim lewat email, kolomnya sudah saya sediakan diatas sebelah kanan, dan saya sangat mengharapkan jika ada kritik dan masukan atau pendapat agan terhadap blog saya. Dan jika ingin berlangganan saya juga silahkan follow blog saya ya, kolomnya ada disebelah kanan ID card saya saya yakni dengan mengklik Join This Site. Serta jangan lupa berbagi Blog ini kepada teman – teman yang lain jika menurut agan berguna baik lewat Twitter, FB atau Jejaring sosial laiinya seperti Kaskus.com
                                                  
OKOKOKOKOK?????? Hehehehehe











No comments:

Post a Comment