Thursday, July 19, 2012

Adanya Upaya Hukum Kasasi Terhadap Putusan Bebas Berdasarkan padaKeputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP


BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Indonesia semulanya mengunakan HIR yakni Herziene Inlandsch Reglement Stb 1941 No. 44 yang merupakan perundang – undangan rezim belanda dalam menerapkan jalannya suatu peradilan di Indonesia didalam bidang Hukum Acara Pidana, namun tahun 1981 Indonesia telah membentuk Undang -  Undang baru yakni Undang – Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang lazim disingkat KUHAP, pada tanggal 31 Desember 1981,  diaman hal ini menjadikan lembaran baru dalam sejarah legislasi Hukum Acara Pidana yang merupakan hasil produk di era kemerdekaan. Dimana tentunya diharapkan dapat membawa perubahan, baik secara konsepsional maupun implemental sehingga dapat lebih memberikan, kepastian, kemanfaatan dan keadilan dalam memenuhi dambaan para pencari keadilan baik secara individual maupun institusi aparat penegak hukum sebagai pengemban mandat dalam proses beracara pidana dalam konteks Sistem Peradilan Pidana.
Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta Advokat adapun institusi komponen sub sistem Peradilan Pidana yang dipandang sebagai titik kunci lahirnya embrio keadilan itu, adalah Pengadilan yang selama ini dianggap oleh publik terutama pencari keadilan sebagai tempat lahirnya sebuah keadilan melalui putusan (vonis) hakim yang secara teoritikal dikenal dengan putusan pengadilan atau putusan hakim. Jika dianalisa mengenai lahirnya sebuah putusan pengadilan adalah merupakan sebuah rangkaian proses panjang yang dihasilkan oleh semua komponen sub unsur struktur yang ada dalam lingkaran proses Sistem       
Peradilan Pidana yang diawali dari tindakan hukum penyelidikan atau penyidikan oleh Kepolisian, Penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan serta pemutus perkara oleh Pengadilan  yang dilakukan oleh Hakim dan lebih lanjut usaha pembinaan bagi pelanggar hukum  yang diesebut sebagai narapidana namum pada saat ini lebih tepatnya disebut sebagai warga binaan, yang dibina oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam mekanisme proses peradilan pidana ini juga adanya keterlibatan sub unsur Advokat baik secara langsung maupun tidak langsung, hal ini dikarenakan jasa  daripada Advokat  digunakan oleh para terdakwa dipengadilan.
Mengenai penjatuhan putusan akhir (vonis) oleh hakim, dapat berupa:
1. Putusan pemidanaan (veroordeling).
2. Putusan bebas dari segala dakwaan hukum (vrijspraak);
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging);
Dan dari putusan pemidanaan diatas selalu tersedia upaya hukum untuk melawan sebagai bentuk ketidak puasan akan vonis yang dijatuhkan hakim. Adapun jenis-jenis upaya hukum yang disediakan oleh KUHAP bagi para pihak  baik itu Terdakwa dan  juga Jaksa Penuntut Umum, yakni berupa:
1. Upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelan) terhadap putusan pengadilan tingkat   pertama, yang terdiri atas:
a. Perlawanan/verzet, yaitu:
Perlawanan Terdakwa atas putusan pengadilan di luar hadirnya Terdakwa (verstek) atau perlawanan Jaksa Penuntut Umum atas penetapan pengadilan mengenai tidak diterimanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan dengan adanya perlawanan itu maka putusan hakim semula menjadi gugur (Pasal 214 ayat (1) jo Pasal 214 ayat (6) KUHAP).
b. Banding (revisie/hoger beroep), menurut pasal 67 jo 233 KUHAP, banding yaitu, “Hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk meminta pemeriksaan ulangan kepada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak merasa puas atas putusan pengadilan negeri.”[1]
c. Kasasi (Cassatie), yaitu: “Hak yang diberikan kepada Terdakwa dan Penuntut Umum untuk meminta kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pemeriksaan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada pengadilan tingkat bawahnya.”[2]
2. Upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang terdiri atas:
a. Kasasi demi kepentingan hukum (cassatie in het belang van het recht), yaitu: “Salah satu upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari putusan pengadilan selain putusan Mahkamah Agung.”[3]
b. Peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (herziening), menurut Soediryo sebagaimana dikutip oleh H. Rusli Muhammad, yaitu: “Suatu upaya hukum yang dipakai untuk memperoleh penarikan kembali atas perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak dapat diganggu gugat lagi.”[4]

Dan untuk penjatuhan putusan akhir yang berupa putusan bebas dan putusan lepas tidak memiliki upaya hukum lagi baik itu upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Dan hal ini dipertegas melalui pengaturan secara yuridis formal tentang putusan bebas (vrijspraak) yang berkorelasi dengan upaya hukumnya, dalam hal ini khususnya berupa upaya hukum kasasi tercantum dalam rumusan Pasal 244 KUHAP, sebagai berikut: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
            Namun praktek peradilan pidana terjadi perkembangan yang dimotori oleh pihak eksekutif, yakni Departemen Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dalam butir 19 pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut ditetapkan bahwa: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi berdasarkan situasi, kondisi demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.”[5] Keberadaan yurisprudensi yang dilandasi keluarnya Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tersebut di bidang substansi materi putusan bebas dengan upaya hukum yang menyertainya masih selalu menjadi wacana kalangan teoritisi maupun praktisi.
Dan hal ini sudah dipraktekkan dalam sistem peradilan di Indonesia. Dimana Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum terhadap kasasi atas putusan bebas, diantaranya:
1. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 892 K/Pid/1983, atas nama: Asape Baleke dan Karenain Bin Muhammad Amin.
2. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 1395 K/Pid/1985, atas nama: dr. Efek Alamsyah, MPH.
3. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 1488 K/Pid/1985, atas nama: Syusri Bin Sahari Arif dan Geston Akas Asong.
4. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 798 K/Pid/1985, atas nama: Ibrahim, dkk.
5. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 864 K/Pid/1986, atas nama: Ricky Susanto.
            Dan masih banyak lagi contoh Putusan Mahkamah Agung yang dikabulkan kasasinya terhadap putusan bebas.

B.     Identifikasi Masalah
Dari analisis latar belakang diatas yang membahas mengenai Upaya Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas, maka timbul suatu permasalahan, yakni:
1.      Apa yang melatar belakangi  diizinkannya atau diperkenankannya upaya hukum Kasasi terhadap putusan bebas?
2.      Bagaimana korelasi KUHAP terhadap diperkenankannya Kasasi terhadap putusan bebas yang didasarkan padaKeputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Mengenai upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dengan pola Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) atas dasar KUHAP adalah untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan norma hukum di bidang peradilan pidana khususnya terfokus pada substansi hukum mengenai upaya hukum kasasi terhadap putusan hakim dengan kualifikasi putusan bebas (vrijspraak).
Mekanisme Sistem Peradilan Pidana Terpadu didukung oleh komponen sub sistem struktur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat sebagai administrator pelaksana peradilan pidana yang kesemua institusi penegak hukum tersebut bernaung di bawah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-undang No. 8 Tahun 1981 dengan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 serta masing-masing Undang-undang organiknya, meliputi: Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
Subekti, mengartikan sistem hukum, “Sebagai suatu susunan atau aturan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penelitian untuk mencapai suatu tujuan.”[6]
Belllefroid menyebut sistem hukum, “ Sebagai suatu rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya.”[7]
Menurut Scholten yang dikutip oleh Utrecht dengan mengatakan bahwa, “Sistem hukum merupakan kesatuan, di dalam sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum lain dari sistem itu.”[8]
Sehubungan dengan sistem hukum, khusus menyangkut sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia atas dasar KUHAP, maka berbagai aturan hukum di bidang pelaksanaan peradilan pidana mengenai persoalan upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia terkait dengan sistem hukum di bidang hukum acara (pidana) atau di bidang peradilan pidana, dalam hal ini akan mencakup peraturanperaturan selaku sub sistem (dari unsur substansi), seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam hubungannya dengan sistem hukum tersebut, menurut Lawrence Meir Friedman ada tiga komponen terpenting dalam sebuah sistem hukum (three elements of legal system), yakni:
a. Struktur (structure).
b. Substansi (substance).
c. Kultur hukum (legal culture).[9]
Dan pengertian struktur merupakan Kerangka atau rangkanya bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan komponen struktur dikaitkan dengan Sistem Peradilan Pidana Indonesia maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Kepolisian dengan fungsinya yang preemtif, preventif dan refresif serta mengemban beragam tugas selaku kewajiban yang harus dilaksanakannya dengan berbagai wewenang yang dimilikinya di bidang yudisiil, seperti menerima laporan/pengaduan,
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Kejaksaan dengan fungsi pokok melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan melaksanakan eksekusi. Pengadilan (hakim) dalam tataran proses sistem peradilan pidana, fungsinya memeriksa dan memutus perkara yang masuk ke pengadilan mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Maka melalui komponen substansi berupa perundang-undangan diatas sebagai operasionalisasi bagi aparat penegak hukum selaku subsistem dalam peradilan pidana maka undang-undang tersebut harus pula mengikuti persyaratan agar suatu sistem dapat bekerja dan menghasilkan sesuatu tujuan yang ideal.
Terkait dengan hal tersebut di atas H. Rosjidi Rangga Widjaja menyatakan, “Dalam setiap pembentukan perundang-undangan agar diperhatikan pula pengarahannya kepada sinkronisasi produk perundang-undangan agar tidak terdapat kesimpang siuran antara yang satu dengan yang lain.”[10] Selanjutnya mengenai kultur hukum (the legal culture), Lawrence Meir Friedman, menyatakan: System their beliefs, values, ideas and expectations. Legal culture refers, then, to those parts of general culture customs, opinions, ways of doing and thinking that bend social forces to ward or way from the law and in particular ways. (Sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya.Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi dengan kata lain, kultur hukum adalah: suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang dan bukan seperti ikan hidup yang berenang di laut).[11]
Berdasarkan teori dari Lawrence M. Friedman tersebut dalam konteks upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia maka komponen sistem yang lebih banyak relevansinya adalah komponen struktur dan substansi.
Selanjutnya mengenai pengertian “Sistem Peradilan Pidana”, menurut Barda Nawawi Arief, memberikan pemahaman sebagai berikut: Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Pada dasarnya, perundang-undangan pidana merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concrecto.
Dan pengertian tentang Sistem Peradilan Pidana yang digariskan dalam Rencana Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP Tahun 2007), yakni dalam Pasal 1 angka 2 RUU KUHAP, dirumuskan seperti berikut: Adalah semua proses peradilan pidana melalui satu pintu yaitu melalui sub sistem polisi selaku penyidik umum untuk melakukan penyidikan.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana yang diberikan oleh para ahli di atas, dapat diketahui adanya unsur-unsur penting dalam lingkup pengertian Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana) tersebut, seperti:
-    Adanya pemakaian pendekatan melalui “sistem”.
-    Terhadap mekanisme administrasi peradilan dan peradilan pidana.
- Merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek  administrasi peradilan, sikap bhatin dan tingkah laku sosial.
-    Sistem di sini sebagai suatu proses interaksi untuk mencapai hasil tertentu berupa pengendalian kejahatan.
- Adanya tindakan interkorelasi dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana, dalam hal ini pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

Dan jika membahas mengenai Putusan Bebas, maka ada Secara teori (menurut KUHAP), hanya dikenal istilah putusan bebas, tanpa adanya kualifikasi “ bebas murni” atau “bebas tidak murni.” Putusan bebas (vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek peradilan berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Kalangan dunia praktisi hukum tampaknya dalam memilah adanya indikasi bebas murni dan bebas tidak murni berdasar pula atas acuan argumen teoritisi yang mengadakan pengkualifikasian bentuk-bentuk vrijspraak, seperti yang dikemukakan oleh seorang doktrina Belanda, J. M. van Bemmelen, sebagai berikut:
1. De zuivere vrijspraak (putusan bebas murni), merupakan putusan akhir, hakim membenarkan fakta hukumnya (feiten), namun tuduhan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
2. De onzuivere vrijspraak (putusan bebas tidak murni), yaitu dalam hal batalnya tuduhan terselubung (bedekte neitigheid van dagvaarding) atau putusan bebas yang menurut keyakinan kenyataannya tidak didasarkan pada tidak terbuktinya apa yang dimuat dalam surat tuduhan.
3. De vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen (putusan bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya), yaitu putusan hakim yang diambil berdasarkan pertimbangan bahwa haruslah diakhiri atas suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.
4. De bedekte vrijspraak (putusan bebas yang terselubung), yaitu dalam hal hakim mengambil putusan tentang fakta hukum (feiten) dan menjatuhkan putusan ontslag van alle rechtsvervolging (dilepas dari tuntutan hukum).

Mencermati pembagian vrijspraak oleh J. M. van Bemmelen tersebut dihubungkan dengan praktek peradilan pidana Indonesia maka jenis vrijspraak dengan kualifikasi bebas tidak murni (de onzuivere vrijspraak), bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan (de vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen) dan bebas yang terselubung (de bedekte vrijspraak) yang potensial serta dominan menjadi alasan atau justifikasi bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung.
Pengertian hakekat dari putusan bebas murni danputusan bebas tidak murni tersebut akan penulis paparkan secara ringkas, sebagai berikut:
a. Putusan Bebas Murni (Zuivere Vrijspraak)
Secara teori (menurut KUHAP) atau pembentuk Undang-undang hanya mengenal dan memakai satu istilah, yakni putusan bebas, tanpa kualifikasi bebas murni dan bebas tidak murni, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”
b. Putusan Bebas Tidak Murni (Onzuivere Vrijspraak)
Mengenai pengertian putusan bebas tidak murni, berikut beberapa pendapat ahli, diantaranya, menurut J. M. van Bemmelen yang dikutip oleh Soedirdjo, seperti berikut: Dikatakan pembebasan tidak murni apabila Yudex Factie berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam surat tuduhan tidak terbukti dan oleh karena itu terdakwa dibebaskan, sebab hakim melihat dalam surat tuduhan lebih banyak daripada yang ada dan juga lebih banyak daripada yang perlu ada di dalamnya.

Suatu putusan bebas dianggap pembebasan tidak murni:
- Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan;
- Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui wewenangnya baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau relatif maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam putusan bebas itu telah turut dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur non yuridis.

Berdasarkan pendapat para sarjana dan yurisprudensi akhirnya memberikan sebuah kesimpulan terhadap putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni tersebut, sebagai berikut:
Bahwa dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah putusan bebas itu mengandung pembebasan yang murni atau tidak murni. Kriteria dimaksud, adalah:
a. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila: Pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas suatu istilah dalam surat dakwaan, atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya;
b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila  pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana yang didakwakan.





















BAB III. OBJEK PENELITIAN
Yang menjadi salah satu Objek penelitian keabsahan daripada Kasasi pada putusan bebas adalah KUHAP. Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau pintu itu sudah tertutup. Kondisi ini direfleksikan oleh Soedirdjo menjadi sebuah judul sub bab dalam buku karangan beliau dengan judul bab, “Putusan Bebas Pintu Jalan Hukum Tertutup.”[12] Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut akhirnya dilakukan suatu penerobosan sehingga terhadap putusan bebas dapat dimintakan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini merupakan suatu langkah untuk mengatasi krisis ketidak adilan menurut persepsi publik akan ekses putusan bebas yang cenderung mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan khususnya dan penegakan hukum pada umumnya. Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan mempertahankan yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti yang dianut pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan contra legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP melalui putusannya tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara langsung dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat dalam:
1. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
2. Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14- PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983.
3. Yurisprudensi Mahkamah Agung.[13]
4. Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 Tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, menyatakan:
Mengingat bahwa mengenai masalah “salah atau tidak tepatnya penerapan hukum” justru merupakan alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi (lihat pasal 253), dan melihat pada pasal 244 yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan bebas tidak boleh dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa terhadap semua putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding, melainkan hanya boleh dimohonkan kasasi.[14]

Terkait dengan esensi Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tersebut, untuk dapat dimintakan kasasi secara langsung kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas maka diperlukan adanya suatu pembuktian bahwa putusan bebas tersebut sebagai pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum terselubung). Sedangkan esensi dari butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, yakni, “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.”
Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan bebas, Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu melalui upaya hukum banding. Keputusan Menteri Kehakiman ini menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam konteks penegakan hukum khususnya dalam beracara pidana kita yang menyangkut persoalan putusan bebas. Selanjutnya mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menjadi dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, yakni, bahwa dalam waktu singkat berselang 5 (lima) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 dengan Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tersebut, Mahkamah Agung langsung merespon dengan yurisprudensi pertama, yakni Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dengan mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum atas permohonan kasasi kasus Raden Sonson Natalegawa. Putusan Mahkamah Agung ini menjadi yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum atas putusan bebas yang dimohonkan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember Tahun 1983 tersebut melahirkan dua (2) yurisprudensi yang isinya , yakni:
1. Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas, pada pertimbangan-pertimbangannya antara lain mencantumkan sebagai berikut:
“..........sesuai dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut atau relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan dalam putusan itu, hal mana dalam melaksanakan wewenang pengawasannya meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi oleh Jaksa. Mahkamah Agung wajib menelitinya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut.
2. Penafsiran “melawan hukum”, mengenai hal ini Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, antara lain mencantumkan: “Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan  hukum, tidak semata-mata diukur dari segi perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang diancam dengan hukum pidana tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum, tapi juga menurut kepatutan dalam kehidupan dalam masyarakat perbuatan itu menurut penilaian masyarakat merupakan perbuatan tercela.”

Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, “Putusan bebas” dapat diajukan kasasi agar permintaan kasasi tersebut berhasil maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa “putusan bebas” tersebut bukan merupakan pembebasan murni.” Atas cerminan dan panutan dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, dalam praktek peradilan pidana di Indonesia para Jaksa Penuntut Umum memperoleh nuansa baru dan angin segar berupa hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu terlebih dahulu harus menempuh upaya hukum banding atau peradilan tingkat kedua) atau dengan kata lain bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung pertama tersebut menjadi acuan dan dasar pembenar secara yuridis normatif bagi para Jaksa Penuntut Umum untuk memanfaatkan hak dan ruang guna meminta pemeriksaan kepada Mahkamah Agung berupa upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Hal ini merupakan salah satu langkah penegakan hukum terkait dengan adanya berbagai fenomena yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang hak Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut.
Terkait dengan yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai putusan bebas tersebut berikut pendapat salah seorang ahli yang menyatakan: Pada hemat kami Mahkamah Agung tidaklah melahirkan yurisprudensi yang bertentangan dengan undang-undang, bahkan Mahkamah Agung berusaha meluruskan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan, agar penerapan hukum tersebut benarbenar sesuai dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan cara ini, Mahkamah Agung berusaha untuk menyesuaikan pelaksanaan ketentuan undang-undang dengan aspirasi hukum dan keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.






















BAB IV. PEMBAHASAN
1.      Apa yang melatar belakangi  diizinkannya atau diperkenankannya upaya hukum Kasasi terhadap putusan bebas?
Penyelesaian:
 Putusan Bebas (vrijspraak) tidak tersedia kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, yang dikonsepsi dalam rumusan Pasal 244 KUHAP, yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Berdasarkan redaksional Pasal 244 KUHAP tersebut bahwa pembentuk undang-undang (pembentuk KUHAP) sebagai pemegang kebijakan yang memformulasikan ide-ide menyangkut esensi upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas tersebut secara konseptual teoritis tampak dengan tegas tidak memperkenankan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.
Beberapa kalangan doktrina memandang dengan versi dan argumen senada dengan pembentuk undang-undang yang memformulasikan rumusan Pasal 244 KUHAP tersebut dengan inti esensi bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat dimohonkan upaya hukum lagi oleh Jaksa Penuntut Umum baik berupa banding maupun kasasi. Konstruksi pemikiran teoritikal konseptual para pakar ilmu hukum masing-masing memberikan justifikasi argumennya tentang ratio legis atau ide dasar terhadap putusan bebas (vrijspraak) yang tidak dapat dimintakan upaya hukum oleh Jaksa Penuntut Umum.
Oemar Seno Adji (mantan Ketua MA), sehubungan dengan putusan bebas, menyatakan:
Bagi seorang terdakwa putusan bebas, yang tidak dapat dibuktikan perbuatan pidana yang dituduhkan terhadapnya lebih merupakan faktor utama, maka putusan bebas sebagai suatu hak yang diperoleh dan menghilangkan perbuatan pidana yang dituduhkan seyogianya tidak dijadikan dasar mengajukan permintaan kasasi seperti dinyatakan oleh Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP (Pasal 244 jo 67 KUHAP).
Dapat dipahami bahwa putusan bebas yang diperoleh terdakwa merupakan hak yang mutlak. Jadi dalam konteks ini adalah berbicara mengenai “kebebasan” yang merupakan hak asasi kodrati manusia yang diinterpretasikan secara gramatikal dan sistematis dalam lingkup hukum pidana (hukum acara pidana) adalah bebas dari hukuman oleh hakim atas tuduhan yang didakwakan kepada terdakwa apabila kesalahan atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Mengenai benar atau tidaknya hak tersebut, apakah sudah diperoleh dengan proses yang benar atau tidak, secara teoritis konseptual (ketentuan dalam KUHAP), Jaksa Penuntut Umum sudah tidak diberikan kemungkinan untuk melakukan upaya kontrol atau koreksi baik berupa upaya hukum banding maupun kasasi. Namun Dengan adanya gejala dan fakta sosio yuridis seperti tersebut berimplikasi timbulnya kesan bahwa putusan pengadilan yang mengandung pembebasan seolah-olah tidak dapat diharapkan sebagai katup penyelamat kepentingan perlindungan ketertiban sehingga dipandang perlu untuk dicarikan solusi hukumnya demi tegaknya wibawa putusan yang dilahirkan oleh peradilan pidana, dalam konteks ini terutama demi tegaknya wibawa esensi putusan bebas (vrijspraak) sehingga diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum (law enforcement).
Oleh sebab itulah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (khususnya butir 19 dari Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut) yang menyatakan “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Dan sudah dipraktikkan didalam peradilan acara pidana yang ada di Indonesia.
Dan kasasi terhadap putusan bebas ini pertama kali diterapkan pada putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 dalam perkara Raden Sonson Natalegawa oleh karena merupakan yurisprudensi pertama terhadap putusan bebas era berlakunya KUHAP.


2.      Bagaimana korelasi KUHAP terhadap diperkenankannya Kasasi terhadap putusan bebas yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?
Penyelesaian:
Didalam KUHAP tidak mengenal adanya Kasasi terhadap putusan bebas, dimana Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Oleh karena itulah hal ini bertentangan dengan KUHAP, namun adanya putusan bebas, pihak yang merasa dirugikan terutama dalam praktiknya pihak korban suatu tindak pidana amat mudah membangun opini yang menyudutkan pihak pengadilan (hakim) yang menyidangkan perkara tersebut. Kondisi dan situasi seperti ini mudah dan rawan menimbulkan ketidak percayaan terhadap dunia peradilan, khususnya hakim, yang berujung adanya luapan emosi dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan bebas tersebut. Oleh sebab itulah walapun bertentangan dengan Hak Asasi dari pada terdakwa, Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (khususnya butir 19 dari Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut) yang menyatakan “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi, tetap dikeluarkan dan diterapkan dalam sistem peradilan di Indonesia.

BAB V. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang ada diatas maka penulis merumuskan suatu kesimpulan, sebagai berikut:
1. Yang melatarbelakangi  diizinkannya atau diperkenankannya upaya hukum Kasasi terhadap putusan bebas adalah dikarenakan pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran agar keadilan diterapkan seadil – adilnya dan tidak timbul opini - opini yang menyudutkan pihak pengadilan (hakim) yang menyidangkan perkara tersebut.
2. Korelasi KUHAP terhadap diperkenankannya Kasasi terhadap putusan bebas yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP merupakan bertentangan, hal ini dikarenakan didalam KUHAP Pasal 244 menyatakan kalau tidak ada Kasasi pada Putusan bebas dan hal itu bertentangan dengan Hak Asasi daripada si terdakwa. Namun untuk menegakkan keadilan yang seadil – adilnya maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983.

B.     Saran
Pada kesempatan ini penulis mengajukan beberapa saran, yakni sebagai berikut:
1. Sudah sangat banyak daripada KUHAP tidak berlaku lagi, oleh karena itu diharapkan pada perubahan KUHAP yang akan datang diharapkan hendaknya mempunyai orientasi secara tegas dan jelas, khususnya yang mengatur mengenai upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak). Dan diharapkan dapat menegakkan keadilan yang seadil – adilnya bagi semua belah pihak.
2. Aparat penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum dan Hakim sebagai sub unsur sistem struktur peradilan pidana dalam tugasnya terkait dengan kebijakan aplikasi kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam praktik peradilan pidana mendatang hendaknya berorientasi pada ketentuan pasal-pasal yang secara yuridis normatif telah direformulasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang yang merupakan landasan yuridis formal praktek acara pidana demi terciptanya kepastian hukum bagi para pencari keadilan (justitiabelen).
3. Dan untuk tercapai dari pada kepastian hukum bagi para pencari keadilan terkait upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang, pembentuk undangundang (pembentuk KUHAP) hendaknya mereformulasikan secara jelas esensi Pasal 244 KUHAP tersebut, yakni dengan merumuskan secara pasti mengenai adanya hak bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas (vrijspraak) sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak menggunakan penafsiran yang salah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang oleh pengadilan negeri diputus bebas dan Hakim juga tidak melakukan tindakan contra legem untuk menyelesaikan kasus-kasus putusan bebas tersebut.










[1] Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal: 4.
[2]H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal: 266.
[3] Ibid, hal: 283.
[4] Ibid, hal: 285.
[5] Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, tp, 1982, hal: 161.
[6] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XI, Penerbit: Intermasa, Jakarta, hal: 17.
[7] Sunaryo Wignyodipuro, Ilmu Hukum, Cetakan ke II, Penerbit: Alumni, Bandung, 1979, hal:103.
[8] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke-4, Penerbit: Ikhtiar, Jakarta, 1957,hal: 207.

[9] Lawrence M. Friedman, 1984, American Law An Introduction, Second Edition (Terjemahan
Wisnu Murti: Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, Juli, 2001, Penerbit: PT.
Tata Nusa, Jakarta, hal: 7).
[10] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit: Mandar
Maju, Bandung, 1998, hal: 33.
[11] Lawrence. M. Friedman, Op. Cit, Hal: 9.
[12] Soedirdjo (III), Op. Cit, hal: 87.
[13] Harun M. Husein, Op. Cit, hal: 118-119.
[14] Departemen Kehakiman RI, Loc, Cit.





Ok Gan… untuk blog ini cukup sekian Dari saya, kalau agan ada yang mau ditanyakan ataupun mau request/ meminta sesuatu maka bisa kirim komentar disini, atau dapat mengirim lewat email, kolomnya sudah saya sediakan diatas sebelah kanan, dan saya sangat mengharapkan jika ada kritik dan masukan atau pendapat agan terhadap blog saya. Dan jika ingin berlangganan saya juga silahkan follow blog saya ya, kolomnya ada disebelah kanan ID card saya saya yakni dengan mengklik Join This Site. Serta jangan lupa berbagi Blog ini kepada teman – teman yang lain jika menurut agan berguna baik lewat Twitter, FB atau Jejaring sosial laiinya seperti Kaskus.com
                                                  
OKOKOKOKOK?????? Hehehehehe

2 comments:

  1. kalau Tinjaun tentang Upaya Hukum aja bisa d share gak gan ?
    butuh bwat tugas neh

    ReplyDelete