BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia semulanya mengunakan HIR yakni
Herziene Inlandsch Reglement Stb 1941 No. 44 yang merupakan perundang –
undangan rezim belanda dalam menerapkan jalannya suatu peradilan di Indonesia
didalam bidang Hukum Acara Pidana, namun tahun 1981 Indonesia telah membentuk
Undang - Undang baru yakni Undang –
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
lazim disingkat KUHAP, pada tanggal 31 Desember 1981, diaman hal ini menjadikan lembaran baru dalam
sejarah legislasi Hukum Acara Pidana yang merupakan hasil produk di era
kemerdekaan. Dimana tentunya diharapkan dapat membawa perubahan, baik secara
konsepsional maupun implemental sehingga dapat lebih memberikan, kepastian, kemanfaatan
dan keadilan dalam memenuhi dambaan para pencari keadilan baik secara
individual maupun institusi aparat penegak hukum sebagai pengemban mandat dalam
proses beracara pidana dalam konteks Sistem Peradilan Pidana.
Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga
Pemasyarakatan serta Advokat adapun institusi komponen sub sistem Peradilan
Pidana yang dipandang sebagai titik kunci lahirnya embrio keadilan itu, adalah
Pengadilan yang selama ini dianggap oleh publik terutama pencari keadilan
sebagai tempat lahirnya sebuah keadilan melalui putusan (vonis) hakim
yang secara teoritikal dikenal dengan putusan pengadilan atau putusan hakim.
Jika dianalisa mengenai lahirnya sebuah putusan pengadilan adalah merupakan
sebuah rangkaian proses panjang yang dihasilkan oleh semua komponen sub unsur
struktur yang ada dalam lingkaran proses Sistem
Peradilan Pidana yang diawali dari
tindakan hukum penyelidikan atau penyidikan oleh Kepolisian, Penuntutan oleh
Kejaksaan, pemeriksaan serta pemutus perkara oleh Pengadilan yang dilakukan oleh Hakim dan lebih lanjut
usaha pembinaan bagi pelanggar hukum
yang diesebut sebagai narapidana namum pada saat ini lebih tepatnya disebut
sebagai warga binaan, yang dibina oleh Lembaga Pemasyarakatan. Dalam mekanisme
proses peradilan pidana ini juga adanya keterlibatan sub unsur Advokat baik
secara langsung maupun tidak langsung, hal ini dikarenakan jasa daripada Advokat digunakan oleh para terdakwa dipengadilan.
Mengenai
penjatuhan putusan akhir (vonis) oleh hakim, dapat berupa:
1.
Putusan pemidanaan (veroordeling).
2.
Putusan bebas dari segala dakwaan hukum (vrijspraak);
3.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging);
Dan dari putusan pemidanaan diatas
selalu tersedia upaya hukum untuk melawan sebagai bentuk ketidak puasan akan vonis
yang dijatuhkan hakim. Adapun jenis-jenis upaya hukum yang disediakan oleh
KUHAP bagi para pihak baik itu Terdakwa
dan juga Jaksa Penuntut Umum, yakni
berupa:
1.
Upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelan) terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang terdiri atas:
a. Perlawanan/verzet, yaitu:
Perlawanan
Terdakwa atas putusan pengadilan di luar hadirnya Terdakwa (verstek)
atau perlawanan Jaksa Penuntut Umum atas penetapan pengadilan mengenai tidak
diterimanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan dengan adanya perlawanan itu maka
putusan hakim semula menjadi gugur (Pasal 214 ayat (1) jo Pasal 214 ayat (6)
KUHAP).
b.
Banding (revisie/hoger beroep), menurut pasal 67 jo 233 KUHAP, banding
yaitu, “Hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk meminta pemeriksaan
ulangan kepada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak merasa puas atas
putusan pengadilan negeri.”[1]
c.
Kasasi (Cassatie), yaitu: “Hak yang diberikan kepada Terdakwa dan
Penuntut Umum untuk meminta kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pemeriksaan
terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada pengadilan tingkat
bawahnya.”[2]
2.
Upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen) terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang terdiri atas:
a.
Kasasi demi kepentingan hukum (cassatie in het
belang van het recht), yaitu: “Salah satu upaya hukum luar biasa yang
diajukan terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari
putusan pengadilan selain putusan Mahkamah Agung.”[3]
b.
Peninjauan kembali putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap (herziening), menurut Soediryo sebagaimana dikutip oleh H.
Rusli Muhammad, yaitu: “Suatu upaya hukum yang dipakai untuk memperoleh
penarikan kembali atas perubahan terhadap putusan hakim yang pada umumnya tidak
dapat diganggu gugat lagi.”[4]
Dan untuk penjatuhan putusan akhir yang
berupa putusan bebas dan putusan lepas tidak memiliki upaya hukum lagi baik itu
upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Dan hal ini dipertegas melalui
pengaturan secara yuridis formal tentang putusan bebas (vrijspraak) yang
berkorelasi dengan upaya hukumnya, dalam hal ini khususnya berupa upaya hukum
kasasi tercantum dalam rumusan Pasal 244 KUHAP, sebagai berikut: “Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap
putusan bebas.”
Namun praktek peradilan pidana
terjadi perkembangan yang dimotori oleh pihak eksekutif, yakni Departemen
Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M. 14-PW. 07. 03 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan
KUHAP yang dalam butir 19 pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut
ditetapkan bahwa: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi
berdasarkan situasi, kondisi demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap
putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada
yurisprudensi.”[5]
Keberadaan yurisprudensi yang dilandasi keluarnya Keputusan Menteri Kehakiman
Nomor: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tersebut di bidang substansi materi putusan
bebas dengan upaya hukum yang menyertainya masih selalu menjadi wacana kalangan
teoritisi maupun praktisi.
Dan hal ini sudah dipraktekkan dalam
sistem peradilan di Indonesia. Dimana Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
Jaksa Penuntut Umum terhadap kasasi atas putusan bebas, diantaranya:
1.
Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 892 K/Pid/1983, atas nama: Asape Baleke dan
Karenain Bin Muhammad Amin.
2.
Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 1395 K/Pid/1985, atas nama: dr. Efek Alamsyah,
MPH.
3.
Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 1488 K/Pid/1985, atas nama: Syusri Bin
Sahari Arif dan Geston Akas Asong.
4.
Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 798 K/Pid/1985, atas nama: Ibrahim, dkk.
5.
Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 864 K/Pid/1986, atas nama: Ricky Susanto.
Dan masih banyak lagi contoh Putusan
Mahkamah Agung yang dikabulkan kasasinya terhadap putusan bebas.
B.
Identifikasi
Masalah
Dari analisis
latar belakang diatas yang membahas mengenai Upaya Pengajuan Kasasi oleh
Penuntut Umum terhadap putusan bebas, maka timbul suatu permasalahan, yakni:
1.
Apa yang melatar
belakangi diizinkannya atau
diperkenankannya upaya hukum Kasasi terhadap putusan bebas?
2. Bagaimana
korelasi KUHAP terhadap diperkenankannya Kasasi terhadap putusan bebas yang didasarkan
padaKeputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA
Mengenai upaya hukum kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia dengan pola Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated
Criminal Justice System) atas dasar KUHAP adalah untuk mengetahui adanya
penyimpangan-penyimpangan norma hukum di bidang peradilan pidana khususnya terfokus
pada substansi hukum mengenai upaya hukum kasasi terhadap putusan hakim dengan
kualifikasi putusan bebas (vrijspraak).
Mekanisme
Sistem Peradilan Pidana Terpadu didukung oleh komponen sub sistem struktur
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat sebagai
administrator pelaksana peradilan pidana yang kesemua institusi penegak hukum
tersebut bernaung di bawah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 dengan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983
serta masing-masing Undang-undang organiknya, meliputi: Undang-undang No. 2
Tahun 2004 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
Subekti, mengartikan sistem hukum,
“Sebagai suatu susunan atau aturan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri
atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu
rencana atau pola, hasil dari suatu penelitian untuk mencapai suatu tujuan.”[6]
Belllefroid menyebut sistem hukum, “
Sebagai suatu rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara
tertib menurut asas-asasnya.”[7]
Menurut Scholten yang dikutip oleh
Utrecht dengan mengatakan bahwa, “Sistem hukum merupakan kesatuan, di dalam
sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang bertentangan dengan
peraturan-peraturan hukum lain dari sistem itu.”[8]
Sehubungan dengan sistem hukum, khusus
menyangkut sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia atas dasar KUHAP, maka
berbagai aturan hukum di bidang pelaksanaan peradilan pidana mengenai persoalan
upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak)
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia terkait dengan sistem hukum di bidang
hukum acara (pidana) atau di bidang peradilan pidana, dalam hal ini akan
mencakup peraturanperaturan selaku sub sistem (dari unsur substansi), seperti Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam
hubungannya dengan sistem hukum tersebut, menurut Lawrence Meir Friedman ada
tiga komponen terpenting dalam sebuah sistem hukum (three elements of legal
system), yakni:
a.
Struktur (structure).
b.
Substansi (substance).
c.
Kultur hukum (legal culture).[9]
Dan pengertian struktur merupakan Kerangka
atau rangkanya bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk
dan batasan terhadap keseluruhan komponen struktur dikaitkan dengan Sistem
Peradilan Pidana Indonesia maka termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi
penegakan hukum, seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan
dan Advokat. Kepolisian dengan fungsinya yang preemtif, preventif dan refresif
serta mengemban beragam tugas selaku kewajiban yang harus dilaksanakannya
dengan berbagai wewenang yang dimilikinya di bidang yudisiil, seperti menerima
laporan/pengaduan,
melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Kejaksaan dengan fungsi
pokok melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan melaksanakan
eksekusi. Pengadilan (hakim) dalam tataran proses sistem peradilan pidana,
fungsinya memeriksa dan memutus perkara yang masuk ke pengadilan mulai dari
tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan tingkat kasasi di Mahkamah
Agung (MA).
Maka melalui komponen substansi berupa
perundang-undangan diatas sebagai operasionalisasi bagi aparat penegak hukum
selaku subsistem dalam peradilan pidana maka undang-undang tersebut harus pula
mengikuti persyaratan agar suatu sistem dapat bekerja dan menghasilkan sesuatu
tujuan yang ideal.
Terkait dengan hal tersebut di atas H.
Rosjidi Rangga Widjaja menyatakan, “Dalam setiap pembentukan perundang-undangan
agar diperhatikan pula pengarahannya kepada sinkronisasi produk
perundang-undangan agar tidak terdapat kesimpang siuran antara yang satu dengan
yang lain.”[10]
Selanjutnya mengenai kultur hukum (the legal culture), Lawrence Meir
Friedman, menyatakan: System their
beliefs, values, ideas and expectations. Legal culture refers, then, to those
parts of general culture customs, opinions, ways of doing and thinking that
bend social forces to ward or way from the law and in particular ways. (Sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya.Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya
proses hukum. Jadi dengan kata lain, kultur hukum adalah: suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari
atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya,
seperti ikan mati yang terkapar di keranjang dan bukan seperti ikan hidup yang
berenang di laut).[11]
Berdasarkan teori dari Lawrence M.
Friedman tersebut dalam konteks upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum
terhadap putusan bebas dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia maka komponen
sistem yang lebih banyak relevansinya adalah komponen struktur dan substansi.
Selanjutnya mengenai pengertian “Sistem
Peradilan Pidana”, menurut Barda Nawawi Arief, memberikan pemahaman sebagai
berikut: Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh
karena itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik
hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Pada dasarnya,
perundang-undangan pidana merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang
akan diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concrecto.
Dan pengertian tentang Sistem Peradilan
Pidana yang digariskan dalam Rencana Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (RUU-KUHAP Tahun 2007), yakni dalam Pasal 1 angka 2 RUU KUHAP, dirumuskan
seperti berikut: Adalah semua proses peradilan pidana melalui satu pintu yaitu
melalui sub sistem polisi selaku penyidik umum untuk melakukan penyidikan.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang Criminal
Justice System atau Sistem Peradilan Pidana yang diberikan oleh para ahli
di atas, dapat diketahui adanya unsur-unsur penting dalam lingkup pengertian Criminal
Justice System (Sistem Peradilan Pidana) tersebut, seperti:
- Adanya pemakaian pendekatan melalui “sistem”.
-
Terhadap mekanisme administrasi
peradilan dan peradilan pidana.
-
Merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi peradilan, sikap bhatin dan
tingkah laku sosial.
- Sistem di sini sebagai suatu proses interaksi
untuk mencapai hasil tertentu berupa pengendalian kejahatan.
-
Adanya tindakan interkorelasi dari setiap instansi yang terlibat dalam proses
peradilan pidana, dalam hal ini pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan.
Dan jika membahas mengenai Putusan
Bebas, maka ada Secara teori (menurut KUHAP), hanya dikenal istilah putusan bebas,
tanpa adanya kualifikasi “ bebas murni” atau “bebas tidak murni.” Putusan bebas
(vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek peradilan
berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Kalangan dunia praktisi
hukum tampaknya dalam memilah adanya indikasi bebas murni dan bebas tidak murni
berdasar pula atas acuan argumen teoritisi yang mengadakan pengkualifikasian bentuk-bentuk
vrijspraak, seperti yang dikemukakan oleh seorang doktrina Belanda, J.
M. van Bemmelen, sebagai berikut:
1.
De zuivere vrijspraak (putusan bebas murni), merupakan putusan akhir, hakim
membenarkan fakta hukumnya (feiten), namun tuduhan Jaksa Penuntut Umum
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
2.
De onzuivere vrijspraak (putusan bebas tidak murni), yaitu dalam hal
batalnya tuduhan terselubung (bedekte neitigheid van dagvaarding) atau
putusan bebas yang menurut keyakinan kenyataannya tidak didasarkan pada tidak
terbuktinya apa yang dimuat dalam surat tuduhan.
3.
De vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen (putusan bebas
berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya), yaitu putusan hakim yang diambil
berdasarkan pertimbangan bahwa haruslah diakhiri atas suatu penuntutan yang
sudah pasti tidak akan ada hasilnya.
4.
De bedekte vrijspraak (putusan bebas yang terselubung), yaitu dalam hal
hakim mengambil putusan tentang fakta hukum (feiten) dan menjatuhkan
putusan ontslag van alle rechtsvervolging (dilepas dari tuntutan hukum).
Mencermati pembagian vrijspraak oleh
J. M. van Bemmelen tersebut dihubungkan dengan praktek peradilan pidana
Indonesia maka jenis vrijspraak dengan kualifikasi bebas tidak murni (de
onzuivere vrijspraak), bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan (de
vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen) dan bebas yang terselubung
(de bedekte vrijspraak) yang potensial serta dominan menjadi alasan atau
justifikasi bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada
Mahkamah Agung.
Pengertian hakekat dari putusan bebas
murni danputusan bebas tidak murni tersebut akan penulis paparkan secara
ringkas, sebagai berikut:
a. Putusan Bebas Murni (Zuivere Vrijspraak)
Secara
teori (menurut KUHAP) atau pembentuk Undang-undang hanya mengenal dan memakai
satu istilah, yakni putusan bebas, tanpa kualifikasi bebas murni dan bebas
tidak murni, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yang
menyatakan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”
b. Putusan Bebas Tidak Murni (Onzuivere
Vrijspraak)
Mengenai
pengertian putusan bebas tidak murni, berikut beberapa pendapat ahli,
diantaranya, menurut J. M. van Bemmelen yang dikutip oleh Soedirdjo, seperti
berikut: Dikatakan pembebasan tidak murni apabila Yudex Factie berpendapat
bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam surat tuduhan tidak terbukti dan
oleh karena itu terdakwa dibebaskan, sebab hakim melihat dalam surat tuduhan
lebih banyak daripada yang ada dan juga lebih banyak daripada yang perlu ada di
dalamnya.
Suatu
putusan bebas dianggap pembebasan tidak murni:
-
Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap
sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan;
-
Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui
wewenangnya baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau
relatif maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam putusan bebas
itu telah turut dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur non yuridis.
Berdasarkan pendapat para sarjana dan
yurisprudensi akhirnya memberikan sebuah kesimpulan terhadap putusan bebas
murni dan putusan bebas tidak murni tersebut, sebagai berikut:
Bahwa
dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah putusan bebas itu
mengandung pembebasan yang murni atau tidak murni. Kriteria dimaksud, adalah:
a.
Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila: Pembebasan
itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas suatu istilah dalam surat
dakwaan, atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui
batas wewenangnya;
b.
Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya
suatu unsur tindak pidana yang didakwakan.
BAB III. OBJEK
PENELITIAN
Yang menjadi salah satu Objek penelitian
keabsahan daripada Kasasi pada putusan bebas adalah KUHAP. Menurut KUHAP
terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami
dari redaksional Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan, “Terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Dengan demikian secara tataran normatif
yudisial, hak atau peluang bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya
hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat
dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau pintu itu sudah tertutup. Kondisi ini direfleksikan
oleh Soedirdjo menjadi sebuah judul sub bab dalam buku karangan beliau dengan
judul bab, “Putusan Bebas Pintu Jalan Hukum Tertutup.”[12] Akan
tetapi terjadi perkembangan dalam praktek peradilan pidana Indonesia, yakni
terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut akhirnya dilakukan suatu
penerobosan sehingga terhadap putusan bebas dapat dimintakan upaya hukum kasasi
kepada Mahkamah Agung. Hal ini merupakan suatu langkah untuk mengatasi krisis
ketidak adilan menurut persepsi publik akan ekses putusan bebas yang cenderung
mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan khususnya dan
penegakan hukum pada umumnya. Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil
gejala negatif tersebut antara lain berupa kembali ke belakang menoleh dan
mempertahankan yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti
yang dianut pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan contra
legem terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP melalui putusannya tanggal 15 Desember
1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan yurisprudensi pertama dalam lembaran
sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan
permohonan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Ketentuan terhadap putusan bebas yang
secara langsung dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat
dalam:
1.
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tanggal
4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
2.
Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14- PW. 07. 03 Tahun
1983 tanggal 10 Desember 1983.
3.
Yurisprudensi Mahkamah Agung.[13]
4.
Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982
Tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, menyatakan:
Mengingat bahwa
mengenai masalah “salah atau tidak tepatnya penerapan hukum” justru merupakan
alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan permohonan kasasi (lihat pasal 253),
dan melihat pada pasal 244 yang menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan bebas
tidak boleh dimohonkan kasasi, maka haruslah diartikan bahwa terhadap semua putusan
lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding, melainkan
hanya boleh dimohonkan kasasi.[14]
Terkait dengan esensi Lampiran Keputusan
Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tersebut, untuk dapat
dimintakan kasasi secara langsung kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas
maka diperlukan adanya suatu pembuktian bahwa putusan bebas tersebut sebagai
pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum terselubung).
Sedangkan esensi dari butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor:
M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, yakni, “Terhadap putusan
bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi,
demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan
kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.”
Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07. 03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan
bebas, Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa
terlebih dahulu melalui upaya hukum banding. Keputusan Menteri Kehakiman ini
menjadi titik awal penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam
konteks penegakan hukum khususnya dalam beracara pidana kita yang menyangkut
persoalan putusan bebas. Selanjutnya mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang
menjadi dasar hukum pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, yakni, bahwa dalam
waktu singkat berselang 5 (lima) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri
Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 dengan Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983
tersebut, Mahkamah Agung langsung merespon dengan yurisprudensi pertama, yakni
Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dengan
mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum atas permohonan kasasi kasus Raden
Sonson Natalegawa. Putusan Mahkamah Agung ini menjadi yurisprudensi pertama
dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang
mengabulkan permohonan upaya hukum atas putusan bebas yang dimohonkan kasasi
oleh Jaksa Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal
15 Desember Tahun 1983 tersebut melahirkan dua (2) yurisprudensi yang isinya ,
yakni:
1.
Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi. Mahkamah
Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas, pada pertimbangan-pertimbangannya
antara lain mencantumkan sebagai berikut:
“..........sesuai
dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan pengadilan yang
membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak
dapat diterima. Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran
yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam surat dakwaan
dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan
atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya dalam arti bukan saja wewenang yang menyangkut kompetensi absolut
atau relatif, tetapi juga dalam hal apabila ada unsur non yuridis yang turut dipertimbangkan
dalam putusan itu, hal mana dalam melaksanakan wewenang pengawasannya meskipun
hal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi oleh Jaksa. Mahkamah Agung
wajib menelitinya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni,
Mahkamah Agung harus menerima permohonan kasasi tersebut.
2.
Penafsiran “melawan hukum”, mengenai hal ini Mahkamah Agung dalam
pertimbangannya, antara lain mencantumkan: “Suatu perbuatan dapat dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum, tidak
semata-mata diukur dari segi perbuatan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang diancam dengan hukum pidana tertulis maupun asas-asas
yang bersifat umum, tapi juga menurut kepatutan dalam kehidupan dalam
masyarakat perbuatan itu menurut penilaian masyarakat merupakan perbuatan tercela.”
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa, “Putusan bebas” dapat diajukan kasasi agar permintaan kasasi
tersebut berhasil maka penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa “putusan
bebas” tersebut bukan merupakan pembebasan murni.” Atas cerminan dan panutan
dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, dalam praktek peradilan pidana di
Indonesia para Jaksa Penuntut Umum memperoleh nuansa baru dan angin segar
berupa hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu
terlebih dahulu harus menempuh upaya hukum banding atau peradilan tingkat
kedua) atau dengan kata lain bahwa yurisprudensi Mahkamah Agung pertama
tersebut menjadi acuan dan dasar pembenar secara yuridis normatif bagi para
Jaksa Penuntut Umum untuk memanfaatkan hak dan ruang guna meminta pemeriksaan
kepada Mahkamah Agung berupa upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Hal ini
merupakan salah satu langkah penegakan hukum terkait dengan adanya berbagai
fenomena yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang hak Jaksa Penuntut
Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak)
tersebut.
Terkait dengan yurisprudensi Mahkamah
Agung mengenai putusan bebas tersebut berikut pendapat salah seorang ahli yang
menyatakan: Pada hemat kami Mahkamah Agung tidaklah melahirkan yurisprudensi
yang bertentangan dengan undang-undang, bahkan Mahkamah Agung berusaha
meluruskan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan, agar penerapan hukum
tersebut benarbenar sesuai dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan
cara ini, Mahkamah Agung berusaha untuk menyesuaikan pelaksanaan ketentuan
undang-undang dengan aspirasi hukum dan keadilan yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
BAB IV.
PEMBAHASAN
1. Apa
yang melatar belakangi diizinkannya atau
diperkenankannya upaya hukum Kasasi terhadap putusan bebas?
Penyelesaian:
Putusan Bebas (vrijspraak) tidak
tersedia kesempatan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum
kasasi kepada Mahkamah Agung, yang dikonsepsi dalam rumusan Pasal 244 KUHAP,
yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Berdasarkan redaksional Pasal 244 KUHAP
tersebut bahwa pembentuk undang-undang (pembentuk KUHAP) sebagai pemegang
kebijakan yang memformulasikan ide-ide menyangkut esensi upaya hukum kasasi
terhadap putusan bebas tersebut secara konseptual teoritis tampak dengan tegas
tidak memperkenankan Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi
terhadap putusan bebas.
Beberapa kalangan doktrina memandang
dengan versi dan argumen senada dengan pembentuk undang-undang yang
memformulasikan rumusan Pasal 244 KUHAP tersebut dengan inti esensi bahwa
terhadap putusan bebas tidak dapat dimohonkan upaya hukum lagi oleh Jaksa Penuntut
Umum baik berupa banding maupun kasasi. Konstruksi pemikiran teoritikal
konseptual para pakar ilmu hukum masing-masing memberikan justifikasi
argumennya tentang ratio legis atau ide dasar terhadap putusan bebas (vrijspraak)
yang tidak dapat dimintakan upaya hukum oleh Jaksa Penuntut Umum.
Oemar Seno Adji (mantan Ketua MA),
sehubungan dengan putusan bebas, menyatakan:
Bagi
seorang terdakwa putusan bebas, yang tidak dapat dibuktikan perbuatan pidana
yang dituduhkan terhadapnya lebih merupakan faktor utama, maka putusan bebas
sebagai suatu hak yang diperoleh dan menghilangkan perbuatan pidana yang
dituduhkan seyogianya tidak dijadikan dasar mengajukan permintaan kasasi
seperti dinyatakan oleh Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP
(Pasal 244 jo 67 KUHAP).
Dapat dipahami bahwa putusan bebas yang
diperoleh terdakwa merupakan hak yang mutlak. Jadi dalam konteks ini adalah
berbicara mengenai “kebebasan” yang merupakan hak asasi kodrati manusia yang
diinterpretasikan secara gramatikal dan sistematis dalam lingkup hukum pidana
(hukum acara pidana) adalah bebas dari hukuman oleh hakim atas tuduhan yang
didakwakan kepada terdakwa apabila kesalahan atau perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Mengenai benar atau tidaknya
hak tersebut, apakah sudah diperoleh dengan proses yang benar atau tidak,
secara teoritis konseptual (ketentuan dalam KUHAP), Jaksa Penuntut Umum sudah
tidak diberikan kemungkinan untuk melakukan upaya kontrol atau koreksi baik
berupa upaya hukum banding maupun kasasi. Namun Dengan adanya gejala dan fakta
sosio yuridis seperti tersebut berimplikasi timbulnya kesan bahwa putusan
pengadilan yang mengandung pembebasan seolah-olah tidak dapat diharapkan
sebagai katup penyelamat kepentingan perlindungan ketertiban sehingga dipandang
perlu untuk dicarikan solusi hukumnya demi tegaknya wibawa putusan yang
dilahirkan oleh peradilan pidana, dalam konteks ini terutama demi tegaknya
wibawa esensi putusan bebas (vrijspraak) sehingga diharapkan dapat
mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari keadilan terhadap aparat penegak
hukum dalam upaya penegakan hukum (law enforcement).
Oleh sebab itulah dikeluarkannya
Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (khususnya butir 19
dari Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut) yang menyatakan “Terhadap
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan
kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat
dimintakan kasasi. Dan sudah dipraktikkan didalam peradilan acara pidana yang
ada di Indonesia.
Dan kasasi terhadap putusan bebas ini
pertama kali diterapkan pada putusan Mahkamah Agung tanggal 15 Desember 1983
Regno: 275 K/Pid/1983 dalam perkara Raden Sonson Natalegawa oleh karena
merupakan yurisprudensi pertama terhadap putusan bebas era berlakunya KUHAP.
2.
Bagaimana korelasi
KUHAP terhadap diperkenankannya Kasasi terhadap putusan bebas yang didasarkan
pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?
Penyelesaian:
Didalam KUHAP tidak mengenal adanya
Kasasi terhadap putusan bebas, dimana Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya
hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional
Pasal 244 KUHAP, yang menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Oleh karena itulah hal
ini bertentangan dengan KUHAP, namun adanya putusan bebas, pihak yang merasa
dirugikan terutama dalam praktiknya pihak korban suatu tindak pidana amat mudah
membangun opini yang menyudutkan pihak pengadilan (hakim) yang menyidangkan
perkara tersebut. Kondisi dan situasi seperti ini mudah dan rawan menimbulkan
ketidak percayaan terhadap dunia peradilan, khususnya hakim, yang berujung
adanya luapan emosi dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan
bebas tersebut. Oleh sebab itulah walapun bertentangan dengan Hak Asasi dari
pada terdakwa, Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983
tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (khususnya
butir 19 dari Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut) yang menyatakan
“Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas
dapat dimintakan kasasi, tetap dikeluarkan dan diterapkan dalam sistem
peradilan di Indonesia.
BAB V. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang ada diatas maka penulis merumuskan suatu kesimpulan, sebagai
berikut:
1.
Yang melatarbelakangi diizinkannya atau
diperkenankannya upaya hukum Kasasi terhadap putusan bebas adalah dikarenakan
pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran
agar keadilan diterapkan seadil – adilnya dan tidak timbul opini - opini yang
menyudutkan pihak pengadilan (hakim) yang menyidangkan perkara tersebut.
2.
Korelasi KUHAP terhadap diperkenankannya Kasasi terhadap putusan bebas yang
didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun 1983
tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP merupakan
bertentangan, hal ini dikarenakan didalam KUHAP Pasal 244 menyatakan kalau
tidak ada Kasasi pada Putusan bebas dan hal itu bertentangan dengan Hak Asasi
daripada si terdakwa. Namun untuk menegakkan keadilan yang seadil – adilnya
maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M. 14-PW. 07. 03 Tahun
1983.
B.
Saran
Pada
kesempatan ini penulis mengajukan beberapa saran, yakni sebagai berikut:
1.
Sudah sangat banyak daripada KUHAP tidak berlaku lagi, oleh karena itu
diharapkan pada perubahan KUHAP yang akan datang diharapkan hendaknya mempunyai
orientasi secara tegas dan jelas, khususnya yang mengatur mengenai upaya hukum
kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak). Dan diharapkan dapat
menegakkan keadilan yang seadil – adilnya bagi semua belah pihak.
2.
Aparat penegak hukum khususnya Jaksa Penuntut Umum dan Hakim sebagai sub unsur
sistem struktur peradilan pidana dalam tugasnya terkait dengan kebijakan
aplikasi kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam praktik
peradilan pidana mendatang hendaknya berorientasi pada ketentuan pasal-pasal
yang secara yuridis normatif telah direformulasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang yang merupakan landasan yuridis formal
praktek acara pidana demi terciptanya kepastian hukum bagi para pencari
keadilan (justitiabelen).
3.
Dan untuk tercapai dari pada kepastian hukum bagi para pencari keadilan terkait
upaya hukum kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas (vrijspraak)
maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan datang, pembentuk
undangundang (pembentuk KUHAP) hendaknya mereformulasikan secara jelas esensi
Pasal 244 KUHAP tersebut, yakni dengan merumuskan secara pasti mengenai adanya
hak bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah
Agung terhadap putusan bebas (vrijspraak) sehingga Jaksa Penuntut Umum
tidak menggunakan penafsiran yang salah dalam menyelesaikan kasus-kasus yang
oleh pengadilan negeri diputus bebas dan Hakim juga tidak melakukan tindakan contra
legem untuk menyelesaikan kasus-kasus putusan bebas tersebut.
[1] Hamzah
dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Penerbit: PT.
Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal: 4.
[2]H. Rusli
Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Penerbit: PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal: 266.
[8] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum
Indonesia, Cetakan ke-4, Penerbit: Ikhtiar, Jakarta, 1957,hal: 207.
Wisnu
Murti: Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, Juli,
2001, Penerbit: PT.
Tata
Nusa, Jakarta, hal: 7).
Maju,
Bandung, 1998, hal: 33.
[14] Departemen
Kehakiman RI, Loc, Cit.
Ok Gan… untuk blog ini cukup sekian Dari saya,
kalau agan ada yang mau ditanyakan ataupun mau request/ meminta sesuatu maka
bisa kirim komentar disini, atau dapat mengirim lewat email, kolomnya sudah
saya sediakan diatas sebelah kanan, dan saya sangat mengharapkan jika ada
kritik dan masukan atau pendapat agan terhadap blog saya. Dan jika ingin
berlangganan saya juga silahkan follow blog saya ya, kolomnya ada disebelah
kanan ID card saya saya yakni dengan mengklik Join This Site. Serta jangan lupa
berbagi Blog ini kepada teman – teman yang lain jika menurut agan berguna baik
lewat Twitter, FB atau Jejaring sosial laiinya seperti Kaskus.com
OKOKOKOKOK?????? Hehehehehe
kalau Tinjaun tentang Upaya Hukum aja bisa d share gak gan ?
ReplyDeletebutuh bwat tugas neh
minta alamat e-mailnya mass.....
ReplyDelete